TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Sudah kuat, mau menghebat

Kesepakatan antara Kejaksaan Agung dan TNI dianggap sebagai erosi yang membahayakan prinsip demokrasi supremasi sipil.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Fri, May 23, 2025 Published on May. 22, 2025 Published on 2025-05-22T21:07:59+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Sudah kuat, mau menghebat Army personnel march during celebrations to mark the 78th anniversary of the Indonesian Military (TNI) in Banda Aceh, Aceh, on Oct. 5, 2023. (AFP/Chaideer Mahyuddin)
Read in English

 

Kejaksaan Agung (Kejagung) mungkin meyakini bahwa mereka butuh perlindungan tambahan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), untuk menangani kasus-kasus kriminal besar yang banyak dibicarakan. Hal itu merupakan kekhawatiran yang wajar.

Namun, yang jauh lebih meresahkan, dan pada akhirnya lebih merusak tatanan demokrasi, adalah apa yang diisyaratkan oleh kesepakatan ini bagi masa depan supremasi sipil di Indonesia.

Bulan lalu, muncul laporan tentang kesepakatan formal terkait rencana penempatan personel TNI di Kejagung dan kantor kejaksaan daerah. Menurut para pejabat di Kejagung, hal ini dilakukan dengan semangat untuk memperkuat keamanan dalam menghadapi potensi ancaman pada keselamatan jaksa, saat mereka menangani kasus-kasus korupsi dan suap yang sensitif.

Kesepakatan tersebut kemudian diperkuat oleh peraturan presiden tentang perlindungan jaksa. Pada dasarnya, peraturan soal perlindungan bukanlah ide buruk, jika mempertimbangkan situasi di Indonesia.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Namun, logika soal kondisi di Indonesia tidak dapat mengesampingkan prinsip bahwa angkatan bersenjata harus tetap berada di luar ranah penegakan hukum sipil dan proses penuntutan.

Mengapa saat ini Kejagung merasa perlu perlindungan militer?

Salah satu kemungkinan jawabannya adalah bahwa jaksa mungkin mengungkap kasus pidana yang sangat sensitif dan secara politis sangat menghebohkan, sehingga mereka takut terjadi pembalasan dari aktor atau elit negara.

Jika demikian halnya, yang mendesak untuk diperkuat adalah lembaga penegakan hukum dan pengawasan sipil. Dan bukannya menyerahkan pengamanan pada angkatan bersenjata.

Kritik terus bertambah, dari kelompok masyarakat sipil dan akademisi hukum. Mereka melihat kesepakatan antara Kejaksaan Agung dan TNI sebagai erosi berbahaya terhadap prinsip demokrasi supremasi sipil.

Banyak pihak yang menyatakan bahwa tidak ada dasar hukum yang jelas untuk mengizinkan TNI ambil bagian dalam menjaga kantor-kantor penegak hukum sipil. Karena itu, ada peringatan bahwa langkah tersebut bisa jadi preseden yang menormalisasi kehadiran militer di lembaga-lembaga sipil secara menyeluruh.

Ini adalah jenis misi terselubung. Hal semacam itulah yang ditakutkan oleh para aktivis dan akademisi hukum akan menjadi ciri khas tindakan pemerintah dalam masa jabatan Presiden Prabowo Subianto. Membiarkan militer ikut campur dalam fungsi peradilan, bahkan secara tidak langsung, berisiko menormalisasi budaya kehadiran militer di segala lini. Padahal Indonesia sudah susah payah berupaya menghilangkan kehadiran tanpa batas itu, setelah Orde Baru runtuh.

Ada pula masalah yang sangat nyata terlihat, yaitu keberlanjutan politik dan dinamika kekuasaan yang masih belum terselesaikan di masa pascapemerintahan Joko “Jokowi” Widodo.

Meski tak lagi menjabat sebagai presiden, Jokowi terus memegang pengaruh atas berbagai bagian di jajaran aparatur negara, termasuk polisi, militer, dan jabatan kabinet tertentu.

Apakah pengaturan keamanan ini merupakan manifestasi lain dari dilema “matahari kembar”? Yaitu dua pusat kekuasaan yang beroperasi di negara yang sama? Jika demikian, maka independensi kelembagaan benar-benar terancam. 

Batas antara mengamankan dan berupaya campur tangan sangatlah tipis. Dan ketika batas itu kabur oleh beban sejarah, loyalitas pribadi, atau ancaman nyata, hasilnya adalah lemah dan payahnya transparansi lembaga-lembaga yang menegakkan keadilan. 

Pemisahan antara ranah militer dan sipil di era Reformasi Indonesia bukanlah tindakan simbolis. Itu adalah perbaikan yang diperjuangkan dengan keras dan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi cengkeraman pemerintah yang otoriter selama puluhan tahun.

Mengikis garis-garis tersebut, bahkan secara bertahap, akan menjadi preseden yang berbahaya. Jika jaksa sipil membutuhkan perlindungan yang lebih baik, maka tugas itu harus dibebankan kepada polisi, yang didukung oleh reformasi kelembagaan dan akuntabilitas publik, bukan kepada tentara bersenjata.

Ini bukan tentang mempertanyakan profesionalisme TNI atau meragukan komitmen nasionalnya. Ini tentang menjaga kejelasan struktural dan integritas hukum. Militer tidak boleh dibiarkan menjadi alat serba guna bagi pemerintahan, keadilan, atau politik.

Kurang dari setahun dalam pemerintahan yang menunjukkan persamaan mencolok dengan era pra-Reformasi, fondasi pengawasan demokrasi harus diperkuat, dan bukannya dikikis. Jika kita mulai menerima keterlibatan militer yang luar biasa di internal lembaga-lembaga sipil sebagai rutinitas, kita akan mendapati diri kita melangkah mundur dari kemajuan demokrasi yang diupayakan selama puluhan tahun.

Kami menyerukan kepada para pemegang kekuasaan eksekutif dan yudikatif untuk memikirkan kembali pengaturan terkait TNI ini. Lembaga-lembaga sipil seharusnya melindungi pekerjaan sipil.

Dan mari kita pastikan bahwa tidak ada pemerintah di masa depan yang tergoda untuk mengatasi kelemahan kelembagaan dengan kekuatan militer.

Hal semacam inilah yang menyebabkan demokrasi runtuh. Bukan dengan ledakan besar, tetapi melalui penghancuran fondasi yang makin lemah secara diam-diam.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.