TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Apakah kita sedang krisis?

Yang saat ini kita hadapi adalah realitas baru yang suram, entah itu disebabkan oleh politik dalam negeri, ekonomi global, atau perubahan teknologi. Berbeda dengan pandemi, tidak ada tanda-tanda situasi ini akan berakhir.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Mon, May 26, 2025 Published on May. 25, 2025 Published on 2025-05-25T17:20:38+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
A man uses his phone while waiting for customers at a clothing shop in Tanah Abang Market in Jakarta on March 6. A man uses his phone while waiting for customers at a clothing shop in Tanah Abang Market in Jakarta on March 6. (AFP/Bay Ismoyo)
Read in English

 

Jika kita membaca tajuk utama selama beberapa minggu dan beberapa bulan terakhir, nampak seperti kita sedang mengalami krisis ekonomi besar-besaran. Dan krisis ini tidak seperti yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 beberapa tahun lalu.

Belanja konsumen saat ini menjadi masalah terbesar, menurut artikel surat kabar dan siaran TV. Frasa yang umum digunakan adalah "daya beli yang menurun".

Para anggota asosiasi bisnis, secara spontan, telah meminta dukungan negara, baik dengan menambah permintaan atau mengurangi beban pajak. Para perwakilan industri ritel bahkan mendesak pemerintah untuk membagikan kupon belanja guna menaikkan angka belanja rumah tangga.

Pembahasan ini mengingatkan kita pada pengalaman saat 2020. Ketika itu, pemerintah menjalankan sejumlah langkah untuk menjaga agar aktivitas ekonomi secara umum tetap berjalan, meskipun ada pembatasan mobilitas yang ketat yang bertujuan untuk mengendalikan penyebaran virus corona.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Apakah saat ini kita sedang mengalami krisis serupa?

Jelas, situasinya sekarang sangat berbeda. Tidak ada yang menghalangi kita untuk memproduksi dan mengonsumsi produk serta layanan, berbeda dengan dampak peraturan darurat saat pandemi.

Kemampuan atau kecenderungan belanja konsumen menjadi sesuatu yang sulit dinilai. 

Meskipun istilah "daya beli" banyak digunakan di media sosial dan di banyak perusahaan di Indonesia, yang dimaksud oleh kebanyakan orang adalah kemampuan belanja. Perubahan daya beli bergantung pada berbagai faktor. Salah satu indikator utamanya adalah pertumbuhan pendapatan dan inflasi

Meskipun upah minimum di Jakarta hanya naik 6,5 persen tahun ini, jumlah yang kecil menurut standar Indonesia, kenaikan tersebut masih jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tingkat inflasi yang saat ini rendah.

Tentu saja, tidak ada cukup data terkait sektor informal yang sangat besar di negara ini. Banyak di antara pekerja yang mungkin tidak menerima kenaikan upah sebanyak itu. Lebih jauh lagi, kenaikan upah sama sekali tidak terjadi pada puluhan ribu orang yang baru-baru ini kehilangan pekerjaan.

Akan sangat bodoh jika kita mengabaikan sepenuhnya gagasan tentang krisis daya beli. Tapi, kita juga tidak boleh sekadar mengulang narasi umum tanpa dukungan data yang memadai.

Masyarakat Indonesia semakin sadar perlunya menyisihkan uang untuk keadaan darurat. Semakin banyak warga yang berinvestasi dalam bentuk saham atau aset lainnya. Karena itu, berkurangnya pengeluaran konsumen tidak selalu disebabkan oleh tekanan finansial. Setidaknya dalam beberapa kasus, mengurangi pengeluaran dan menambah tabungan menjadi pilihan yang diambil secara sengaja. 

Selain itu, laporan PDB terbaru menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga naik, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Yang menyeret turun angka PDB year-on-year pada kuartal pertama adalah pengeluaran pemerintah dan investasi perusahaan, bukan pengeluaran konsumen.

Namun, gagasan tentang terjadinya krisis pengeluaran konsumen begitu kuat sehingga pemerintah akhirnya mengambil jalan tengah.

Pada Sabtu 24 Mei lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan bahwa langkah-langkah stimulus ekonomi akan diumumkan pada 5 Juni. Menurutnya, langkah itu "untuk mendorong pertumbuhan dengan meningkatkan konsumsi."

Upaya stimulus yang direncanakan mencakup potongan biaya tagihan listrik untuk puluhan juta orang, pemberian sembako dan transfer tunai untuk rumah tangga berpendapatan rendah, subsidi tarif untuk transportasi udara, kereta api, dan kapal laut, serta diskon tarif jalan tol selama liburan sekolah.

Namun, apakah pesta belanja yang disponsori negara semacam itu akan benar-benar membantu? Dan dapatkah kita melakukan stimulus itu di saat anggaran negara kita sedang terbatas dan investor global semakin khawatir tentang utang pemerintah?

Paket stimulus konsumen jangka pendek untuk mengangkat sentimen ekonomi semacam itu ibarat karyawan yang stress, lalu beralih ke terapi belanja menggunakan kartu kredit demi melupakan masalah pekerjaan dalam satu senja. Artinya, stimulus hanya menawarkan kesenangan sesaat, bukan solusi tetap.

COVID-19 adalah krisis sementara yang butuh stimulus sementara. Sedangkan yang kita hadapi saat ini adalah kenyataan baru yang suram, entah disebabkan oleh politik dalam negeri, ekonomi global, atau perubahan teknologi. Tidak seperti pandemi, krisis ini belum tampak titik akhirnya. 

Menopang permintaan konsumen selama satu atau dua bulan tidak akan mengatasi masalah permintaan yang mendasar dalam ekonomi kita. Yang dapat mengatasinya adalah investasi dalam produksi industri dan infrastruktur, demi membuat ekspor kita menjadi lebih kompetitif, serta mengurangi impor.

Sebagai efek lanjutan, investasi dalam industri dan manufaktur akan meredakan kecemasan konsumen terhadap kondisi lapangan kerja. Hal itu sangat mungkin akan membuat mereka kembali membelanjakan lebih banyak uang. 

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.