Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsKita harus menghindari konsesi yang terlalu dini, karena kebijakan perdagangan AS masih terus berubah, dengan berbagai tantangan hukum yang terus berjalan.
Waktu terus berjalan. Kita semakin dekat dengan tenggat waktu untuk menyelesaikan kesepakatan perdagangan dengan Amerika Serikat. Jika tidak, ada risiko menghadapi tarif besar, yang dikenakan pada hampir semua barang produksi Indonesia yang dikirim ke negara ekonomi terbesar di dunia tersebut.
Ini bukan negosiasi perdagangan biasa. Lazimnya, dua negara atau lebih berjumpa sebagai pihak yang setara untuk mengurangi tarif impor atas barang masing-masing yang diekspor. Tapi dalam kasus sekarang ini, Washington secara sepihak mengenakan apa yang disebut tarif resiprokal pada puluhan negara dan saat ini mencari konsesi untuk mencabutnya.
Tidak ada aspek timbal balik di sini. Resiprokal artinya kedua belah pihak bersepakat membuka pasar mereka untuk impor dari pihak lain, dengan demikian membuka manfaat ekonomi dari keunggulan komparatif. Dan hal itu tidak terjadi.
AS bertujuan memaksa kita mengimpor lebih banyak dari mereka, bahkan ketika mereka akan mengimpor lebih sedikit dari kita. Karena hal itu bertentangan dengan logika ekonomi, Washington mengandalkan tarif untuk menundukkan kekuatan pasar.
Pembelaan yang diajukan AS untuk membenarkan kebijakan itu adalah fakta bahwa para mitra dagang telah mengekspor lebih banyak ke AS, lebih banyak dari yang mereka impor dari AS.
Indonesia telah menikmati surplus perdagangan dengan negara-negara lain di dunia selama beberapa tahun terakhir. Perdagangan bilateral dengan AS menyumbang sebagian besar dari surplus tersebut.
Minggu lalu, Badan Pusat Statistik, menerbitkan data yang menunjukkan bahwa surplus perdagangan kita secara keseluruhan menyusut hingga hampir nol pada April. Terjadi penurunan yang sangat tajam dalam surplus kita terhadap AS.
Namun, bisa saja penurunan itu hanya terjadi satu kali. Dan hal itu tidak akan mengurangi tekanan pada negosiator kita dalam pembicaraan dengan Washington. Bagaimana pun, ada pertanyaan yang lebih besar, yaitu apa alasannya kita harus selalu menjelaskan langkah yang kita ambil.
Jika kita memproduksi sepatu dan pakaian serta barang-barang lain, lalu menawarkannya dengan harga yang menarik bagi konsumen AS, apa salahnya? Kita tidak memaksa siapa pun agar membeli produk kita.
Bagi Washington, sesungguhnya terlalu polos dan bias untuk hanya melihat neraca perdagangan bilateral, kemudian menunjuk defisit perdagangan AS sebagai bukti adanya praktik yang tidak adil.
Jika pemerintahan Presiden AS Donald Trump ingin mengajukan tuntutan terhadap kita, tuntutan itu harus lebih spesifik. Memang tuntutan itu bisa saja diajukan, karena kita tentu tidak luput dari cela jika terkait praktik perdagangan. Kita masih jauh dari sempurna.
Secara sah, Washington dapat menunjuk persyaratan tingkat kandungan konten lokal dan pembatasan impor pangan sebagai dua area proteksionisme Indonesia yang paling menonjol.
Di sisi lain, kita dapat menunjuk undang-undang mereka, misalnya Inflation Reduction Act, the CHIPS Act, the Build America, Buy America Act, serta tarif impor baja, sebagai proteksionisme AS.
Hal-hal Inilah, dan bukan neraca perdagangan, yang harus kita negosiasikan. Tentu dengan itikad baik, yaitu tujuan untuk meningkatkan akses pasar bersama.
Dengan waktu satu bulan hingga tarif resiprokal AS mulai berlaku, pekan lalu AS menambah tekanan pada tim negosiasi asing dengan mendesak mereka untuk menyampaikan penawaran terbaik mereka.
Kita harus menghindari konsesi prematur. Kebijakan perdagangan AS masih terus berubah, dengan tantangan hukum yang sedang berlangsung.
Ada istilah gunboat diplomacy atau diplomasi kapal perang untuk menyebut langkah AS ini. Kira-kira artinya memamerkan kekuatan militer, untuk menekan bangsa lain agar mengikuti kemauannya.
Pekan lalu, Presiden Korea Selatan yang baru terpilih Lee Jae-myung mengatakan bahwa pemerintahannya tidak terburu-buru dalam mencapai kesepakatan dengan Washington. Sikap demikian nampaknya merupakan cara cerdas menghadapi AS.
Mengkoordinasikan pendekatan kita dengan ASEAN dan mitra dagang regional lainnya akan memaksimalkan pengaruh kita.
Ancaman tarif merupakan bagian dari taktik negosiasi yang digunakan Donald Trump. Kita tidak perlu terintimidasi oleh sesuatu yang sepele, sesederhana jarum jam yang terus berdetak.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.