Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsYang dibutuhkan ASEAN adalah komitmen politik yang berkelanjutan, didukung oleh lembaga-lembaga sipil tepercaya, untuk menjadikan perdamaian sesuatu yang bukan hanya mungkin diwujudkan, tapi terwujud selamanya.
Gencatan senjata antara Thailand dan Kamboja, merupakan perkembangan yang disambut baik di kawasan yang sangat ingin mempertahankan stabilitas. Setelah berlangsung hampir sepekan, permusuhan bersenjata di sepanjang perbatasan itu ditengahi oleh Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim,
Kami mengapresiasi PM Anwar, ketua ASEAN tahun ini, atas tindakan cepat dan tegas untuk mempertemukan kedua belah pihak yang bertikai. Kesepakatan yang dicapai di Putrajaya pada Senin lalu, terjadi di saat yang tepat. Pasalnya, korban jiwa dan politik dari konflik tersebut sudah mustahil diabaikan.
Ratusan ribu orang terpaksa mengungsi, puluhan orang tewas, dan rasa saling percaya antarnegara yang bertetangga dengan cepat menguap. Bahwa senjata-senjata kini akhirnya berhenti menyalak bukanlah pencapaian sepele. Hal itu, dalam kata-kata Anwar sendiri di Jakarta sehari kemudian, merupakan "kemenangan bagi seluruh ASEAN".
Sungguh, hasilnya merupakan pengingat akan apa yang dapat dicapai oleh diplomasi personal, ketika mekanisme kelembagaan gagal. Dalam hal ini, tidak ada kerangka kerja resolusi konflik ASEAN yang diterapkan; tidak ada diplomasi bolak-balik oleh utusan khusus dari ketua ASEAN; tidak ada seruan kepada ASEAN High Council yang ada di bawah Treaty of Amity and Cooperation (TAC). ASEAN High Council merupakan mekanisme penyelesaian sengketa yang dibentuk untuk menyelesaikan perselisihan di antara anggota ASEAN.
Sebaliknya, yang membuat langkah kali ini berbeda adalah hubungan personal Anwar, termasuk ikatan jangka panjang yang telah ia bina dengan Hun Sen di Kamboja dan faksi Thaksin Shinawatra di Thailand. Sebagai ketua ASEAN, ia punya wewenang untuk bertindak, dan ia lakukan.
Kami tidak memandang ini sebagai kegagalan ASEAN, melainkan sebagai kesempatan untuk merenungkan keterbatasan instrumen yang kita miliki saat ini.
Sebagai sebuah komunitas, ASEAN tidak boleh membiarkan hubungan antaranggotanya hanya bergantung pada keakraban interpersonal di antara para elit. Bisa saja krisis berikutnya tidak memberi kita keberuntungan semacam itu lagi.
Kami harap Presiden Prabowo Subianto dan para pemimpin ASEAN lainnya memperhatikan episode ini, kemudian berkomitmen untuk memperkuat tata cara penyelesaian sengketa formal di kawasan ini. Hal itu diupayakan bukan hanya untuk menghindari konflik, tetapi juga untuk memperdalam rasa tanggung jawab bersama di antara kita.
Bagi Indonesia, implikasinya signifikan. Meskipun konflik tidak meluas melewati batas wilayah kita, kerapuhan yang ditunjukkan oleh konflik itu tidak dapat disangkal.
Kredibilitas ASEAN bergantung pada perdamaian di antara para anggotanya. Ketika negara-negara tetangga berperang, meski hanya sesaat, daya tarik kawasan ini langsung menurun di mata investor. Lebih jauh, sentralitas kita dalam tatanan Indo-Pasifik dipertanyakan.
Namun, bahkan ketika kita menandai terobosan diplomatik ini, tantangan di masa depan tetap berat. Hanya 24 jam setelah gencatan senjata diberlakukan, muncul laporan bahwa kedua belah pihak telah saling tuduh atas pelanggaran baru.
Sayangnya, kasus saling tuduh ini sudah dapat diduga akan terjadi. Tentara bertindak sesuai logika mereka sendiri. Karena itulah kita tidak boleh mempercayakan beban mewujudkan perdamaian hanya kepada tentara. Yang kita butuhkan adalah komitmen politik yang berkelanjutan, didukung oleh lembaga-lembaga sipil tepercaya, untuk menjadikan perdamaian sesuatu yang bukan hanya mungkin diwujudkan, tapi terwujud selamanya.
Rapuhnya gencatan senjata saat ini menunjukkan tren global yang lebih luas. Hal itu dicatat oleh seorang analis dalam komentarnya baru-baru ini di The Diplomat. Menurutnya, kita tampak hidup di “zaman gencatan senjata”, yaitu masa ketika konflik ditunda, bukan diselesaikan. Lalu, di masa ini, diplomasi lebih cenderung untuk membendung dan bukannya mentransformasi.
Perang di Ukraina, kekerasan yang tak terbayangkan di Gaza, dan kini bentrokan di kawasan kita sendiri, semuanya telah jatuh ke dalam pola ini. Financial Times, yang menulis tentang konflik antarnegara tetangga, menggambarkannya sebagai gejala kegagalan struktural. Yaitu kurangnya norma bersama, forum fungsional, dan aturan yang dapat ditegakkan. Tentu saja, sebetulnya ada strukturnya; hanya saja struktur itu dibiarkan tanpa penegakan.
Jika kita di ASEAN menerima tren ini sebagai sesuatu yang tak terelakkan, kita hanya akan mencapai titik terendah, saat terjadi krisis.
Kita akan merasa puas dengan jeda yang rapuh ini, dan bukannya menempa perdamaian yang langgeng. Langkah ini akan melukai generasi-generasi yang membangun ASEAN dengan janji saling menghormati, tanpa kekerasan, dan demi kemakmuran bersama.
Janganlah kita sia-siakan warisan para pendiri ASEAN itu. Marilah kita gunakan masa gencatan senjata ini bukan sebagai titik akhir, tetapi sebagai kesempatan untuk memperkuat kembali komitmen pada tatanan regional yang berlandaskan prinsip. Dan bukan atas dasar persona orang per orang.
Hanya dengan demikianlah ASEAN dapat benar-benar mengklaim diri sebagai sebuah komunitas, bukan hanya komunitas pemerintahan, tetapi juga komunitas masyarakat.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.