Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsIndonesia merayakan ulang tahun kemerdekaannya yang ke-80 minggu ini. Inilah waktu yang tepat bagi seluruh rakyat Indonesia untuk merenungkan kondisi nasionalismenya.
Di titik jelang ujung abad ke-20, ketika globalisasi mencapai puncaknya, sebuah aliran nasionalisme yang menular dengan cepat tampak muncul di cakrawala.
Sebagai respons terhadap guncangan eksogen yang ditimbulkan oleh globalisasi, aliran nasionalisme ini berusaha menegaskan kembali sebuah gagasan tentang kebangsaan, yaitu yang didefinisikan oleh kemampuan untuk mengembangkan tradisi sendiri.
Dan karena tradisi dapat menjadi konsep yang fleksibel, cara mudah bagi kaum nasionalis untuk memetakan konsep adalah dengan menetapkan batasan berdasarkan etnis dan ras.
Jika perlu, batasan nasionalisme yang telah digariskan tersebut harus dipertahankan dengan kekuatan militer.
Karena itu, terdapat hubungan antara nasionalisme dan militerisme.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan kebangkitan kembali aliran nasionalisme yang ganas ini. Bahkan aliran ini muncul di negara dan wilayah yang paling kosmopolitan di dunia.
Di Amerika Serikat, keinginan Presiden Donald Trump untuk membersihkan negara dari budaya "asing" telah menyebabkan pengerahan pasukan militer dan paramiliter. Mereka menggerebek dan mendeportasi imigran ke pusat-pusat penahanan di negara-negara yang asing.
Keinginan untuk membangun budaya monolitik juga telah menyebabkan matinya wacana keberagaman dan multikulturalisme. Padahal, hal itu telah lama menjadi ciri budaya di negara imigran seperti AS.
Di Israel, bentuk ekstrem etno-nasionalisme tidak hanya menyebabkan militerisasi masyarakat secara absolut, tetapi juga mengakibatkan apa yang kini diakui dunia sebagai genosida.
Saat ini di Gaza, lebih dari 2 juta orang menderita kelaparan. Mereka juga dibantai setiap hari, sebagai akibat yang dapat diprediksi dari dehumanisasi selama bertahun-tahun terhadap sekelompok orang yang berseberangan pola pikir.
Tren yang tak kalah mengkhawatirkan adalah di Eropa. Di sana pernah terjadi eksperimen etno-nasionalisme yang berakhir dengan pemusnahan 6 juta orang Yahudi.
Serangkaian jajak pendapat publik yang diterbitkan awal pekan ini menemukan bahwa partai-partai sayap kanan secara bersamaan memimpin dalam jajak pendapat di tiga negara yang menguasai perekonomian Eropa, yaitu Jerman, Prancis, dan Inggris. Hal ini merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah modern.
Italia adalah negara dengan pemerintah moderat yang terdiri dari partai sayap kanan. Pengalaman negara ini seharusnya cukup untuk meredakan banyak kekhawatiran. Tetapi, retorika dan program nativis partai-partai ini dapat menghambat upaya mempromosikan masyarakat yang adil dan setara, sebuah proyek yang kini menjadi impian yang jauh di seberang Atlantik. Nativistik merupakan sikap menempatkan kepentingan penduduk asli di atas kepentingan para pendatang.
Pekan ini, Indonesia akan merayakan 80 tahun kemerdekaannya. Ini saatnya bagi seluruh rakyat Indonesia untuk merenungkan kondisi nasionalismenya.
Dengan Sang Merah Putih berkibar, parade militer semakin sering dilakukan, dan peran pemerintah yang semakin besar dalam perekonomian, tampaknya Indonesia tidak kebal terhadap tren global.
Dan di Indonesia, ideologi dominannya sebagian besar ditentukan oleh politisi populis dan para jenderal militer. Kondisi ini membuat negara rentan terjebak dalam perangkap etno-nasionalisme.
Akhir-akhir ini, kita semakin sering mendengar ungkapan "intervensi asing" atau "konspirasi melawan bangsa". Jargon itu dilontarkan oleh para pejabat pemerintah setiap kali ada protes terhadap kebijakan pemerintah.
Ancaman perang atau intervensi asing yang hanya hadir di benak itu telah menjadi dalih bagi militer untuk memperluas keterlibatannya. Mereka berpencar tidak hanya secara geografis, dengan menyebar ke lebih banyak wilayah, tetapi juga secara birokratis, dengan menempatkan para personel militer agar berperan langsung dalam urusan sipil.
Terdapat pula kecenderungan yang berkembang untuk "nasionalisme ekonomi". Dalam ideologi ini, negara memutuskan untuk memainkan peran utama dalam perekonomian, menggelontorkan uang dan sumber daya ke dalam program dan proyek untuk menciptakan pertumbuhan.
Ciri lain dari nasionalisme ekonomi ini adalah keputusan negara untuk mengendalikan sumber daya yang dianggap krusial bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Hampir 30 tahun yang lalu, di awal era reformasi, Indonesia memulai proyek baru untuk meredam beberapa aliran nasionalisme yang paling ganas. Saat itu, pemerintah memperkenalkan otonomi daerah, reformasi militer, dan membangun pembatas jelas di sekitar hak dan kebebasan individu.
Proyek itu masih belum rampung. Dua dekade berikut akan sangat penting dalam menentukan negara seperti apa yang akan dihuni oleh generasi mendatang. Indonesia akan jadi apa di abad keberadaannya yang berikut.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.