Nahdlatul Ulama (NU) dapat mengulang perannya sebagai pemain yang berpengaruh dalam Pilpres 2024. Para capres dan partai-partai yang mendukung mereka telah mulai mendekati organisasi Muslim terbesar di Indonesia tersebut untuk mendapatkan dukungan yang lebih besar, meski Ketua Umum NU Yahya Cholil Staquf tetap tidak mengizinkan organisasi tersebut untuk ikut serta dalam politik secara terbuka.
Beberapa bulan sebelum musim kampanye resmi dimulai, semakin banyak saran agar partai-partai memilih tokoh yang berafiliasi dengan NU sebagai calon wakil presiden mereka, dengan keyakinan akan menentukan kemenangan di pilpres tahun depan.
Namun Ketua Umum NU yang akrab disapa sebagai Gus Yahya, berusaha membatasi afiliasi agama dan politik electoral. NU dan Muhammadiyah, dua organisasi Muslim terbesar di Indonesia, mengecam politik identitas yang telah membuat bangsa terpecah belah pada pilpres sebelumnya.
“Saya selalu menegaskan bahwa kami tidak menginginkan politik identitas berbasis Islam, atau bahkan politik identitas berbasis NU,” kata Gus Yahya kepada wartawan di Jakarta Pusat pada hari Kamis.
“Kami tidak ingin ada [kandidat] yang mencalonkan diri hanya karena mereka merupakan bagian dari NU. Yang kami inginkan adalah seseorang yang mencalonkan diri karena memang memiliki sesuatu yang rasional untuk ditawarkan.”
Gus Yahya kemudian mengklarifikasi pernyataannya dan mengatakan bahwa jika ada tokoh NU mencalonkan diri, pencalonan mereka harus didasarkan pada rekam jejak dan kredibilitas mereka sendiri. Gus Yahya menegaskan bahwa mereka tidak boleh menggunakan identitas NU sebagai “modal politik”.
Terlepas dari keinginan Gus Yahya untuk menjaga agar NU bersih dari politik, tokoh-tokoh lain dari organisasi tersebut telah menyatakan dukungannya untuk kandidat potensial NU.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, adik Gus Yahya dan pimpinan sayap pemuda NU GP Ansor, mengatakan bahwa Menteri BUMN Erick Thohir merupakan sosok berpengalaman yang cocok disandingkan dengan Ganjar Pranowo. Pernyataan itu dikeluarkan sehari setelah Gubernur Jawa Tengah tersebut dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada 21 April lalu.
Erick adalah anggota Banser, kelompok paramiliter yang memiliki hubungan dengan GP Ansor. Ia telah menjaga hubungan dekat dengan NU dan menjadi ketua panitia untuk peringatan seratus tahun organisasi tersebut di Sidoarjo, Jawa Timur, pada Februari lalu.
Sementara itu, minggu lalu, politisi senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad “Romy” Romahurmuziy mengungkapkan partainya sedang membujuk ulama NU senior dan imam besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar, untuk mengisi posisi calon wakil presiden partai tersebut. PPP memberikan dukungannya kepada Ganjar pada 30 April dan menandatangani kemitraan resmi dengan PDIP.
Selasa lalu, Wakil Presiden Ma'ruf Amin, yang merupakan Rais' Aam (pemimpin tertinggi) NU sebelum Pemilu 2019, mengklaim bahwa organisasi tersebut memiliki lebih dari cukup anggota yang mampu menggantikannya.
“Saya [dari NU], dan saya telah bekerja dengan baik sebagai wakil presiden,” kata Ma’ruf saat berkunjung ke Bali, dikutip dari Kompas.
Rabu lalu, Ma'ruf Amin mengklaim bahwa ia tidak berencana untuk mencalonkan diri pada Pilpres 2024. Ma’ruf juga telah berkonsultasi dengan beberapa tokoh NU yang disebut-sebut sebagai cawapres untuk Ganjar, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan yang didukung NasDem.
Kompetisi terbuka
Sementara ini, meski tampaknya sudah terpilih tiga calon yang telah ditetapkan serta didukung partai politik untuk mencalonkan diri sebagai presiden, masih belum ada yang menetapkan pasangan yang pasti. Kondisi tersebut menyebabkan ada semacam kompetisi yang terbuka lebar untuk menemukan pasangan yang sempurna.
Peneliti politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Noory Okthariza mengatakan kepada The Jakarta Post bahwa situasi saat ini dapat bertentangan dengan kebijaksanaan politik yang berlaku.
“Ada asumsi, jika ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah terwakili dalam pasangan calon presiden, maka dukungan kelompok agama akan terpusat pada capres tersebut,” kata Noory, Kamis lalu.
“Faktanya adalah […] Indonesia selalu punya beberapa partai Islam yang cukup besar, artinya blok pemilih Muslim beragam secara electoral.”
NU dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia. NU sendiri dilaporkan memiliki lebih dari 50 juta anggota terdaftar.
Namun, kata Noory, dengan meninggalnya mantan Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid pada 2009, lalu wafatnya Maimun “Mbah Moen” Zubair pada 2019, NU tidak lagi memiliki tokoh politik figur pemersatu yang bisa jadi panutan bagi anggota dari kalangan masyarakat umum.
Terlepas dari adanya kubu-kubu dalam pemungutan suara, ketiga calon presiden terus mencoba mendekati calon pemilih dari NU, termasuk dengan cara mengusulkan tokoh-tokoh yang berafiliasi dengan NU sebagai calon wakil presiden.
Sempat mengalami kekalahan telak di kubu NU Jawa Timur pada Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo selama setahun terakhir secara berkala berkeliling di daerah tersebut, mengunjungi beberapa pesantren serta bertemu dengan beberapa ulama NU.
Gerindra juga menjalin aliansi dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan oleh Gus Dur dan masih memiliki ikatan budaya yang erat dengan NU.
Bertemu dengan beberapa ulama NU yang berbasis di Jawa Tengah juga menjadi langkah pertama Ganjar setelah resmi diajukan sebagai calon presiden. Sementara itu, Anies dan beberapa petinggi NasDem bertemu dengan mantan Ketua Umum NU Said Aqil Siradj di Jakarta, Maret lalu.
Baru-baru ini, politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman mengatakan bahwa Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa adalah satu dari lima nama yang masuk dalam daftar cawapres Anies.
“Ada [Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono] dan [Politisi PKS Ahmad Heryawan]. Dan dari NasDem, PKS sudah mengajukan nama Ibu Khofifah,” kata Sohibul, Selasa lalu, dikutip dari laporan Kompas.com.
Sebagai pemimpin Muslimat NU, sayap perempuan NU, Khofifah juga dikabarkan sedang didekati oleh Gerindra. Prabowo telah dua kali bertemu dengannya sejak Mei 2022.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.