emerintah berencana melarang perusahaan-perusahaan media sosial membiarkan penggunanya melakukan transaksi e-commerce di platform mereka.
Rancangan perubahan Peraturan Kementerian Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 telah mendefinisikan perdagangan sosial sebagai fitur pelengkap platform media sosial yang memungkinkan pedagang menawarkan barang dan jasa.
RUU tersebut, yang rancangannya diperoleh The Jakarta Post, menetapkan tiga poin utama mengenai perdagangan sosial, atau penyediaan layanan e-niaga melalui platform media sosial.
Pertama, RUU tersebut mewajibkan pelaku usaha mematuhi persyaratan hukum mengenai perizinan, standar mutu, produk terlarang, dan peraturan perpajakan, serta memperoleh sertifikasi halal dan izin Badan Pengawasan Obat dan Makanan.
Kedua, RUU ini membatasi pasar e-niaga dan operator perdagangan sosial untuk berfungsi sebagai produsen, sementara penyedia perdagangan sosial juga dilarang memfasilitasi transaksi pembayaran melalui sistem elektronik mereka.
Seperti yang dikonfirmasi oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, terlepas dari langkah-langkah ketat ini, pemerintah tidak melarang operasional perdagangan sosial namun lebih fokus pada pembatasan transaksi langsung yang dilakukan melalui platform tersebut.
“Aplikasi perdagangan sosial seharusnya hanya berfungsi sebagai fasilitator untuk mempromosikan barang dan jasa, tidak boleh mengadakan transaksi dengan pembayaran langsung,” kata Zulkifli dalam konferensi pers, usai rapat kabinet dengan Presiden pada hari Senin (26 September). Ia mengutip iklan promosi di televisi sebagai contoh.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.