omisi Pemberantasan Korupsi (KPK) praktis sudah tidak lagi relevan sejak DPR membatasi wewenangnya. KPK makin tidak relevan lagi sejak pemimpin yang sekarang memecat beberapa penyidik terbaiknya. Pelemahan KPK menjadi salah satu warisan terbesar era Reformasi, yang telah mendefinisikan demokrasi Indonesia pasca era rezim Orde Baru yang korup.
Tentu, badan antirasuah itu belum sepenuhnya mati. Namun, sungguh pilu dan prihatin melihatnya saat ini, mengingat betapa hebatnya lembaga itu di masa lalu. Makin ironis ketika kini institusi tersebut terbelit kasus yang menjadi alasan awal pembentukannya, yaitu penyalahgunaan kekuasaan. Dulu, KPK bertugas membereskan korupsi yang merajalela di institusi penegak hukum.
KPK tersandung polemik setelah ketuanya saat ini, Firli Bahuri, mencopot mantan Direktur Investigasi Endar Priantoro karena yang bersangkutan menolak melanjutkan penyelidikan atas kasus korupsi yang melibatkan mantan Gubernur DKI Anies Baswedan. Kurang bukti jadi alasan penolakan Endar.
Seketika muncul kekhawatiran bahwa pimpinan KPK memanfaatkan wewenang lembaganya sebagai alat politik untuk menyerang Anies, yang telah diajukan sebagai calon presiden oleh Koalisi Perubahan untuk Persatuan. Hingga saat ini, Anies menjadi satu-satunya calon presiden dari partai oposisi.
Kecurigaan itu bisa dibantah dengan mudah, jika Firli membuktikan diri sebagai penegak hukum berintegritas.
Baru-baru ini, di media sosial beredar sebuah video yang merekam ditemukannya dokumen KPK di Kementerian ESDM, kementerian yang saat ini sedang dalam pengusutan KPK. Dalam video, terdengar dua orang membicarakan dokumen tersebut, dan salah satunya berkata, “menteri dapat dokumen dari Pak Firli”.
Dokumen itu ditemukan dalam penggeledahan KPK di kantor Pelaksana Tugas Dirjen Mineral dan Batu Bara, bulan lalu.
Betul, kita bisa menggunakan asas praduga tak bersalah dalam menilai Firli. Namun, sulit mengabaikan fakta bahwa Firli pernah dinyatakan bersalah atas pelanggaran etika. Penunjukannya sebagai ketua KPK pun sarat kontroversi, karena pengangkatannya tetap dilaksanakan meski ada yang tidak setuju akibat catatan etikanya yang tidak mulus.
Pada 2018, saat menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, Firli dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran etik berat setelah dua kali bertemu Gubernur Nusa Tenggara Barat Zainul Majdi, yang saat itu menjadi saksi kasus korupsi yang sedang ditangani KPK. Pada September 2020, Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) juga melaporkan Firli ke Dewan Pengawas karena diduga menerima suap berupa diskon besar untuk menyewa helikopter guna melancong ke Palembang dan Baturaja, Sumatera Selatan. Namun, Firli hanya mendapat teguran tertulis atas pelanggaran etik tersebut.
Selasa lalu, Komunitas Aktivis Muda Indonesia (KAMI) berdemonstrasi menentang Firli di depan kantor KPK di Kuningan, Jakarta Selatan. Mereka menuntut Firli mundur dari jabatannya. Unjuk rasa tersebut seperti melanjutkan gerakan protes serupa yang diadakan oleh mantan komisioner dan penasehat KPK serta beberapa anggota pengawas korupsi independen lokal, termasuk Indonesia Corruption Watch (ICW).
Sulit untuk tidak secara serius menanggapi kasus ini jika ia dinyatakan bersalah atas pelanggaran etika. Memang KPK tak pernah bersih dari politik. Sebagai salah satu lembaga pengendali terkuat di negara ini, KPK telah lama jadi ajang “sepak bola politik” bagi macam-macam kepentingan. Itulah alasan mengapa penting bagi kita melindungi KPK dari segala bentuk penyelewengan yang mengarah pada penyalahgunaan wewenang, yang secara politik bisa membahayakan.
Dewan Pengawas KPK dilaporkan sedang menyelidiki dugaan pelanggaran etik terbaru, hingga nantinya bisa memutuskan apakah Firli bersalah atau tidak. Jika terbukti bersalah, dia harus segera mundur. Jika ia tidak mundur, artinya ia menjerumuskan KPK menjadi sarang pencoleng.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.