nflasi Indonesia terus melambat sejak September tahun lalu. Investasi bertahan dengan baik, dan laporan Produk Domestik Bruto (PDB) terbaru melampaui harapan. Artinya posisi Indonesia kokoh tak tertandingi di tengah gejolak ekonomi global. Kondisi ekonomi dunia saat ini penuh risiko, diwarnai utang perbankan hingga pergolakan geopolitik.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Jumat lalu mengumumkan bahwa PDB Indonesia naik 5,03 persen tahun-ke-tahun (yoy) pada periode Januari-Maret, menandai percepatan marjinal dari kenaikan tahunan 5,01 persen yang dibukukan pada kuartal sebelumnya. Hasil terakhir tersebut berarti tingkat pertumbuhan ekonomi kita telah berada di atas ambang batas 5 persen, batas signifikan secara psikologis, selama enam kuartal berturut-turut.
Pujian patut diberikan pada pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang menjadikan industri hilir sebagai tumpuan pembangunan nasional. Penanganan ekonomi terbukti lancar, sementara perencanaan fiskal yang hati-hati membantu negara keluar dari krisis akibat pandemi global tanpa meninggalkan utang yang saat ini memberatkan pemerintah, perusahaan, atau individu di tempat lain.
Pujian, di sisi lain, bisa memicu kepongahan. Apalagi dengan kondisi Indonesia yang tak lama lagi akan menghadapi pemilihan umum. Meskipun layak mendapat pujian, kebanggaannya bisa salah tempat karena alasan sederhana: Ada lapisan masyarakat yang mencibir, dan ada jutaan orang yang tak peduli data PDB, karena mereka tidak merasakan dampak apa pun.
Beberapa orang menganut konsep ekonomi yang alurnya adalah kekayaan mengalir dari si kaya ke si miskin, atau dari perusahaan besar ke bisnis kecil. Namun, sebelum ada hasilnya, banyak orang akan tenggelam atau bangkrut.
Banyak buku telah ditulis tentang batasan PDB sebagai ukuran kesejahteraan. Saat ini jadi kesempatan baik bagi kita agar mawas tentang batasan tersebut, hingga kita tak terbuai olah kilau data statistik.
Dalam laporan PDB kuartal pertama, BPS mencatat bahwa semua sektor bisnis tumbuh secara tahunan. Yang tumbuh paling besar adalah sektor transportasi dan pergudangan, berkat peningkatan pengeluaran besar-besaran untuk perjalanan kereta api dan transportasi udara. Namun, masih diragukan apakah data tersebut mencerminkan peningkatan kesejahteraan, karena biaya transportasi, terutama harga tiket pesawat, meningkat tajam.
Data PDB tidak menunjukkan seberapa dalam orang merogoh kocek mereka untuk membayar barang yang mereka beli.
PDB bertujuan untuk menangkap data keluaran ekonomi, atau produksi agregat barang dan jasa di suatu negara. Karena itu, PDB tidak bisa digunakan untuk memperhitungkan kerusakan harta benda atau turunnya tingkat kesehatan manusia akibat bencana alam atau perusakan lingkungan.
Ulasan ini tidak dimaksudkan untuk mengurangi gambaran positif yang tercermin dalam data ekonomi makro Indonesia. Namun, harus diingat bahwa data BPS bukanlah paparan lengkap tentang kesejahteraan ekonomi Indonesia, atau negara lain mana pun.
Seperti halnya data pertumbuhan PDB dan inflasi dapat memberi gambaran kondisi ekonomi, masih dibutuhkan pengukuran lain untuk menilai tingkat kesejahteraan secara holistik. Misalnya dengan memperhatikan data distribusi kekayaan, kesehatan dan pendidikan, serta perdamaian dan keamanan.
Kita pun perlu berpandangan kritis terkait distribusi kekayaan, mengingat kesenjangan regional di nusantara yang masih sangat besar. Pertumbuhan industri hilir di Indonesia memang membantu mengejar ketertinggalan, menumbuhkan yang selama ini belum terbangun telah menjadi agenda utama pemerintah sejak Jokowi menjabat pada 2014, tetapi kemajuan di bidang ini bisa dibilang kurang mengesankan.
Akses masyakarat untuk kesehatan dan gizi telah meningkat secara substansial, meskipun belum mencukupi. Dan masih ada kekurangan lumayan besar di sisi penyediaan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau.
Visi Indonesia 2045, seperti yang didefinisikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, adalah menjadi negara yang berdaulat, maju, adil, dan makmur pada saat merayakan ulang tahun keseratus kemerdekaannya. Visi tersebut menunjukkan adanya pemahaman pemerintah bahwa pembangunan nasional harus lebih dari sekadar data PDB.
Jangan lupakan pemahaman itu setiap kali mendengar bahwa Indonesia adalah setitik cahaya dalam ekonomi global. Betul, kita adalah titik terang, tapi sekadar jadi titik terang saja belumlah cukup.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.