TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Selamatkan Mahkamah Konstitusi

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Wed, October 18, 2023

Share This Article

Change Size

Selamatkan Mahkamah Konstitusi Constitutional Court Chief Justice Anwar Usman (right) and Justices Saldi Isra (second right), Enny Nurbaningsih (second left) and Arief Hidayat (left) attend a hearing to deliver a ruling on a petition for judicial review of the age minimum for presidential and vice presidential candidates in Jakarta on Oct. 16, 2023. (Antara/Akbar Nugroho Gumay)
Read in English

D

ari sedikit lembaga negara yang dibentuk untuk mewujudkan tujuan gerakan reformasi, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah dianggap sebagai lembaga yang paling tangguh.

Namun MK jauh dari sempurna. Pemerintah tidak selalu mampu menangani masalah-masalah yang terjadi akibat politik yang berpikiran sempit, mengingat sembilan hakim MK di Indonesia masing-masing ditunjuk oleh salah satu dari tiga lembaga pemerintahan. Negara ini juga belum sepenuhnya terbebas dari budaya korupsi yang sudah mewabah. Setidaknya dua hakim MK, Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, dipenjara karena menerima suap.

Meskipun mengalami pasang surut selama 20 berdiri sebagai warisan utama Era Reformasi, MK mampu mempertahankan legitimasi publik pada tingkat tertentu sebagai satu-satunya penafsir Konstitusi.

Namun, semua berubah. Keputusan MK pada 16 Oktober memenangkan petisi seorang mahasiswa dari Surakarta, Jawa Tengah. Dalam petisinya, si mahasiswa mengajukan perubahan undang-undang soal batas usia minimum calon presiden (dan wakil presiden). Dengan perubahan tersebut, walikota yang saat ini menjabat di kotanya, Gibran Rakabuming Raka yang berusia 36 tahun, dapat mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada pemilu mendatang. Keputusan MK untuk mengabulkan petisi itu bagai penghinaan terhadap supremasi hukum.

Yang jadi masalah bukan kelayakan Gibran untuk jabatan tersebut. Problem utamanya lebih kepada kondisi yang menyebabkan MK mengambil keputusan pemancing kontroversi itu.

Gibran adalah putra sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Adik perempuan Jokowi menikah dengan Ketua MK Anwar Usman. Anwar jelas punya konflik kepentingan dalam penanganan kasus tersebut dan seharusnya mengundurkan diri dari jajaran hakim yang mengambil keputusan.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Ketua MK hanya melakukan sedikit upaya, jika ada, untuk menyembunyikan biasnya. Keputusan tersebut, misalnya, dikeluarkan hanya beberapa hari sebelum pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden dibuka, sehingga membuka jalan bagi Gibran untuk mengikuti pemilu 2024. Keputusan pengadilan bersifat final dan mengikat, sehingga hakim seharusnya meluangkan waktu yang cukup untuk membahas kasus ini.

Saldi Isra, salah satu dari empat hakim yang mengajukan perbedaan pendapat atas keputusan mayoritas hakim di MK, menuduh Anwar memburu-buru diselesaikannya upaya peninjauan kembali.

Keputusan MK untuk mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh mahasiswa tersebut, setelah menolak mosi serupa yang diajukan penggugat yang lebih terkenal pada hari yang sama, telah membingungkan banyak orang, termasuk salah satu hakim MK sendiri.

Kami tidak yakin masalahnya terletak hanya pada Anwar. Sungguh naif untuk mengatakan bahwa MK akan lebih efektif jika ia mengundurkan diri, meskipun kami rasa pengunduran diri adalah hal yang sepantasnya dilakukan Anwar. Yang jelas, MK perlu perombakan total.

Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah melihat bagaimana badan legislatif bisa mempermaikan peraturan untuk memperketat kontrolnya terhadap hakim yang ditunjuk menjadi hakim MK. Salah satu contohnya adalah Aswanto, mantan hakim yang dipecat karena berulang kali mengambil keputusan yang berbeda dengan kepentingan legislatif.

Sejak akhir tahun lalu, Dewan Perwakilan Rakyat berencana mengubah Undang-Undang MK. Perubahan dilakukan agar DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung dapat melakukan evaluasi setiap lima tahun, atau kapan saja jika diperlukan, terhadap salah satu atau ketiga hakim yang ditunjuk oleh masing-masing lembaga. Namun, draf revisi undang-undang tidak merinci mekanisme atau kriteria yang jelas untuk mengatur penilaian terhadap hakim.

Dengan kata lain, kita berhadapan dengan permasalahan sistemik yang telah melemahkan institusi sekuat MK. Kredibiltas MK kini berada di titik nadir. MK  tidak bisa lagi berfungsi sebagai penjaga konstitusi yang sah dan telah kehilangan kapasitasnya untuk melayani kepentingan publik, seperti yang terlihat dalam kasus Gibran.

MK Indonesia kini telah direduksi menjadi pelayan kekuasaan oligarki. Dan kekuasaan itulah  yang mengontrol eksekutif dan legislatif. Setelah keputusan MK jelas-jelas menguntungkan Gibran, keponakan ketua MK, kini lembaga tersebut hanya sekadar Mahkamah Keluarga belaka.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.