Kandidat pemilihan presiden di Indonesia jarang sekali, jika pernah, membahas kebijakan luar negeri kita. Jadi ada baiknya melihat ketiga calon presiden membahas masalah ini secara terpisah, dalam pidato kebijakan luar negeri mereka di the Centre for Strategic and International Studies (CSIS) minggu lalu. Sayangnya, mereka gagal memberi inspirasi. Tidak juga sekadar tampil mengesankan. Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan menyajikan beberapa inisiatif dan gagasan menarik mengenai kebijakan luar negeri dan pertahanan, namun tidak ada yang dapat digambarkan sebagai perubahan besar dari jalur yang sudah dilakukan saat ini.
Berlawanan dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, dalam kampanyenya saat maju sebagai calon presiden pada 2014. Ketika itu, ia yang dianggap sebagai pemula dalam bidang kebijakan luar negeri, justru punya ide-ide yang lebih segar dan bisa diterima, yang bisa dianggap radikal menurut standar Indonesia.
Jokowi berkampanye untuk mengubah Indonesia dari negara kepulauan menjadi negara maritime. Ia memproyeksikan kekuatan Indonesia sebagai negara yang bertanggung jawab yang melindungi dan menjaga perairan strategis di dalam dan sekitar negara, juga di kawasan Indo-Pasifik. Ia menyebut payung besar rencananya sebagai poros maritim global. Sayangnya, gagasan ini tidak diterima karena adanya penolakan dari pihak kebijakan luar negeri dan lembaga pertahanan, karena mereka tidak terbiasa dengan perubahan besar.
Pemilu 2024 merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk memikirkan kembali kebijakan luar negeri dan kebijakan pertahanannya, dengan terjadinya perubahan dramatis baik secara eksternal maupun internal. Indo-Pasifik telah menjadi kawasan yang jauh lebih berbahaya, dengan sengketa wilayah di Laut China Selatan dan meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Secara internal, kekuatan Indonesia telah berubah, Kini, negara ini berkekuatan menengah, secara ekonomi dan politik. Pengaruh Indonesia sudah lebih besar. Ada harapan yang semakin besar di seluruh dunia bahwa Indonesia dapat berperan lebih aktif dalam diplomasi internasional. Namun, ternyata Indonesia masih menjalankan semua kebijakan luar negeri seperti biasa saja, bahkan cenderung mengalami kemunduran.
Desain kebijakan luar negeri kita sangat sedikit berubah sejak masa Soeharto. Beberapa konsep perlu dipikirkan ulang. Keyakinan bahwa ASEAN adalah “landasan” kebijakan luar negeri telah menjadi hambatan sejak kelompok 10 negara tersebut bergerak berdasarkan consensus. KIni, banyak terjadi ketidaksepakatan. Gerakan nonblok yang berkembang selama Perang Dingin perlu interpretasi baru pada abad ke-21.
Jika terjadi perang di kawasan ini, Indonesia akan menjadi rentan karena kekuatan militernya kurang dari 70 persen. Padahal, 70 persen dianggap sebagai kekuatan minimum yang diperlukan untuk melindungi wilayah dan kedaulatan kita. Namun tak satupun calon presiden berbicara mengenai peningkatan belanja pertahanan, yang saat ini hanya sebesar 0,8 persen dari produk domestik bruto, jauh di bawah angka 2 persen yang diterapkan oleh negara-negara tetangga.
Beberapa orang mungkin mengatakan Indonesia lebih condong ke Tiongkok secara politik dan ekonomi. Kemudian condong ke AS di bidang pertahanan. Dua sikap itu adalah cerminan kebijakan luar negeri Indonesia yang independen. Namun, pihak lain berpendapat bahwa kebijakan luar negeri dan pertahanan kita hanya mengikuti jalur yang berbeda. Apap pun argumennya, terdapat kebutuhan yang jelas bagi lembaga pertahanan untuk mengambil posisi dalam sebuah forum kebijakan luar negeri. Di masa lalu, lembaga pertahanan Indonesia hanya berkutat menangani ancaman dalam negeri.
Kebijakan luar negeri seharusnya tidak lagi menjadi monopoli Kementerian Luar Negeri. Pemilihan presiden tahun 2024 merupakan kesempatan baik bagi para kandidat untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap kebijakan luar negeri dan kebijakan pertahanan.
Ketiga kandidat presiden mendedikasikan bagian khusus terkait kebijakan luar negeri dan kebijakan pertahanan, dalam pernyataan visi dan misi mereka yang dipublikasikan.
Namun karena tidak adanya inisiatif baru, kecil kemungkinan mereka akan memanfaatkan bagian khusus tersebut dalam kampanye pemilu mereka. Para pemilih dan masyarakat akan terus diasingkan dari kebijakan luar negeri dan pertahanan kita, yang seharusnya mewakili atau melindungi kepentingan bangsa.
Di tengah meningkatnya ketegangan regional dan ancaman konflik, pemerintah perlu dukungan penuh dari masyarakat. Presiden mendatang harus mempersiapkan bangsanya sejak dini untuk mengantisipasi gejolak internasional. Masih ada waktu bagi para kandidat presiden untuk mengubah rencana dan strategi kebijakan luar negeri, agar bisa menginspirasi masyarakat.
Semoga, yang menang adalah kandidat dengan strategi kebijakan luar negeri terbaik.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.