TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Mengelola risiko kredit

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Mon, December 11, 2023

Share This Article

Change Size

Mengelola risiko kredit Bank Indonesia's logo is seen at its headquarters in Jakarta on Jan. 17, 2019. (Reuters/Willy Kurniawan)
Read in English

P

residen Joko “Jokowi” Widodo mengkritik bank-bank nasional karena memegang obligasi pemerintah dan instrumen moneter Bank Indonesia (BI) dalam jumlah besar, dan tidak mendorong meminjamkan uang mereka tersebut kepada dunia usaha dan individu. Data resmi menegaskan bahwa pertumbuhan pinjaman pada bulan Oktober adalah sebesar 9 persen (year on year atau yoy), tidak berubah dari tahun lalu.

Kekhawatiran Presiden yang disampaikan pada rapat tahunan BI bulan lalu itu memang beralasan. Kredit bank adalah sumber kehidupan bagi dunia usaha. Lebih jauh, mengingat ketidakpastian perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus bergantung pada pasar domestik.

Pada 2019, bank-bank di Indonesia hanya punya obligasi pemerintah senilai Rp 571 triliun ($36,8 miliar dolar Amerika). Angka itu setara sekitar 21 persen dari total utang yang beredar. Namun, setelah pandemi, nilai obligasi meningkat menjadi Rp1,37 kuadriliun pada 2020 dan menjadi Rp1,69 kuadriliun pada 2022. Angka tersebut sempat turun sedikit menjadi Rp1,57 kuadriliun pada bulan lalu.

Dan pada bulan Oktober, aset bank berupa instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) adalah senilai sekitar Rp 119 triliun. SRBI mulai diterbitkan pada bulan Agustus untuk mengelola likuiditas dan mengendalikan jumlah uang yang beredar. Instrumen ini memberi alternatif pengelolaan likuiditas penting bagi bank-bank di Indonesia.

Kenaikan suku bunga acuan BI yang mengejutkan sebesar 25 basis poin menjadi 6 persen pada bulan Oktober diperkirakan akan memicu masalah yang kait mengait. Biaya pinjaman akan meningkat dan beban bunga yang lebih tinggi bagi perusahaan akan meningkatkan risiko gagal bayar. Akibatnya, bank terdorong menjadi lebih hati-hati dalam mengeluarkan kredit baru. Lebih jauh lagi, hal ini berpotensi melemahkan pertumbuhan ekonomi.

Namun BI berargumen bahwa kenaikan suku bunga tidak akan memberikan dampak negatif terhadap pinjaman. Argumentasi itu mengutip pengalaman pada 2018 ketika BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 175 basis poin menjadi 6 persen dari bulan April hingga Desember. Saat itu, pertumbuhan kredit masih meningkat dari 8,76 persen menjadi 12,05 persen pada tahun itu karena likuiditas memadai dan ekspansi ekonomi cukup pesat.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Menurut bank sentral, likuiditas di industri perbankan masih mencukupi karena rasio aset likuid terhadap dana pihak ketiga tetap tinggi, yaitu 26,36 persen di bulan Oktober. Namun bank sentral juga menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, karena dana pihak ketiga di bank hanya meningkat 3,43 yoy di bulan Oktober, turun dari kenaikan 6,54 persen di bulan sebelumnya.

Lalu mengapa tren positif tahun 2018 tidak terjadi sekarang?

Menurut kami, alasan utamanya adalah prospek pertumbuhan ekonomi tahun depan yang tidak secerah 2018. Risiko bisnis di tahun 2018 juga tidak setinggi sekarang, mengingat ketidakpastian perekonomian global saat ini, masih tingginya suku bunga, dolar yang kuat, serta meningkatnya ketegangan geopolitik.

Karena pendapatan bank-bank di Indonesia sebagian besar bergantung pada pinjaman, bank-bank tersebut tentu saja ingin menyalurkan kredit. Namun, keputusan pemberian pinjaman terutama bergantung pada prospek ekonomi makro dan proyeksi risiko bisnis. Sayangnya, prediksi konsensus pemilu 2024 tidak begitu menjanjikan.

Konsumsi dalam negeri, yang merupakan pendorong utama pertumbuhan, kemungkinan akan tetap kuat. Sebagian besar memang disebabkan oleh belanja terkait kampanye. Meski demikian, investor diperkirakan akan berada dalam posisi “wait and see” hingga pemerintahan baru mulai berkuasa pada bulan Oktober.

BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi antara 4,7 dan 5,5 persen pada 2024. Sebagian besar analis swasta memperkirakan pertumbuhan ekonomi kurang dari 5 persen.

Kondisi makroekonomi dapat dicegah agar tidak memburuk jika pemerintah menjaga konsistensi kebijakan. Otoritas fiskal dan moneter juga harus bekerja secara harmonis di tengah gejolak politik tahun depan yang menaikkan peluang terjadinya gejolak sosial.

Penyaluran kredit kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masih dapat diperluas jika pemerintah mempercepat implementasi rencana penghapusan kredit macet kepada 421.000 UMKM senilai lebih dari Rp23 triliun. Penghapusan tersebut dapat memberikan kebebasan kepada bank-bank pemerintah untuk memberikan pinjaman lebih banyak ke sektor ini. Bagaimana pun, UMKM menyumbang hampir 62 persen produk domestik bruto.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.