TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Alpa awasi tambang

Pemerintah tampak hanya peduli pada penghasilan dari sektor mineral dan abai terhadap kerusakan lingkungan serta penderitaan masyarakat yang terkena dampak industrinya.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Mon, April 8, 2024

Share This Article

Change Size

Alpa awasi tambang Unlicensed miners work on April 29, 202, in a tin mining area in Toboali, on the southern shores of the island of Bangka, Bangka Belitung. Miners who continue working on land have to deploy expensive heavy machinery to dig deeper for tin ore as reserves dwindle. (Reuters/Willy Kurniawan)
Read in English

K

asus korupsi yang mencengangkan di sektor timah, yang baru-baru ini terbongkar, selayaknya jadi pengingat tentang kenyataan bahwa pemerintah masih minim kapasitas untuk mengelola sumber daya alam yang melimpah di Indonesiai.

Korupsi besar-besaran tersebut terjadi di wilayah konsesi perusahaan pertambangan milik negara PT Timah di Bangka Belitung. Provinsi tersebut memiliki cadangan timah terbesar di Tanah Air. Wilayah kepulauan ini memproduksi 90 persen timah nasional, yang sebagian besar berada di bawah kendali PT Timah.

Penambangan timah di Indonesia sudah ada sejak abad ke-18. Kesultanan Palembang, yang saat itu menguasai pulau-pulau di kawasan Sumatra, bahkan harus mendatangkan tenaga kerja asal Tiongkok sebagai petugas di pertambangan, guna memenuhi kuota produksi yang telah disepakati dengan Belanda.

Setelah era Reformasi, masuk perusahaan pertambangan baru di kawasan Bangka Belitung. Namun, PT Timah tetap mempertahankan wilayah konsesi terluas, yaitu lebih dari 288.000 hektar lahan. Lebih dari 184.000 hektar berada di perairan antara Pulau Bangka dan Pulau Kondur.

Meski Indonesia punya sejarah pengalaman panjang dalam pertambangan timah, tetap saja pemerintah dan PT Timah belum menguasai operasional dan tata kelola yang baik. Akibatnya, sulit memastikan praktik pertambangan yang bertanggung jawab.

Timah relatif mudah ditambang. Karena itu, penambangan ilegal merajalela dan menyebabkan kerusakan lingkungan berskala besar di provinsi tersebut. Kelompok pemerhati lingkungan, Walhi Bangka Belitung, mencatat bahwa pada 2019, lebih dari 1 juta hektar dari total luas wilayah provinsi sebesar 1,6 juta hektar telah menjadi zona pertambangan.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Laporan Majalah Tempo mengungkapkan bahwa 460.000 hektar kawasan hutan di Bangka Belitung telah beralih fungsi menjadi kawasan pertambangan pada 2018 hingga 2023. Sedikitnya 27 orang tewas akibat kecelakaan pertambangan, dan 21 orang lainnya tewas tenggelam di lubang tambang.

Pemerintah tutup mata terhadap dampak buruk penambangan timah tersebut. Padahal, Indonesia adalah salah satu eksportir mineral terbesar di dunia, dengan cadangan kekayaan mineral terbesar kedua di dunia.

Dengan rekam jejak kecerobohan yang begitu panjang, tidak mengherankan jika negara ini kembali menjadi sorotan karena buruknya tata kelola praktik penambangan nikel di Sulawesi dan Maluku Utara.

Pemerintah mendorong hilirisasi nikel untuk mendukung cita-cita Indonesia menjadi pusat baterai kendaraan listrik (electric vehicle atau EV). Tapi, di sisi lain, pemerintah telah membiarkan kondisi kerja yang buruk dan melonggarkan standar lingkungan di area pertambangan dan peleburan. Akibatnya, terjadi konflik lahan, kecelakaan kerja, dan kematian.

Pola serupa juga terjadi pada sektor kehutanan dan perkebunan. Deforestasi dan kebakaran hutan yang merajalela sudah menjadi peristiwa biasa di tengah buruknya pengawasan dan lemahnya penegakan hukum.

Pemerintah tampaknya hanya peduli pada pendapatan yang dihasilkan dari sektor-sektor tersebut. Namun, pemerintah tidak peduli dan mengabaikan kerusakan lingkungan serta penderitaan masyarakat yang terkena dampak industri terkait.

Beragam bukti nyata terkait kecerobohan pemerintah ini bagai kenyataan pahit yang disampaikan dalam pidato-pidato populis para pemimpin. Mereka selalu bicara tentang peningkatan kesejahteraan masyarakat. Banyak juga yang menyebut akan menjadikan Indonesia negara berpenghasilan tinggi, di bawah visi Indonesia Emas 2045 yang diusung Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Seharusnya, karena Indonesia kaya akan sumber daya alam, pemerintah meningkatkan tata kelola sumber daya alam agar dapat berdampak signifikan.

Mereka bisa memulainya dengan melakukan evaluasi ketat terhadap izin pertambangan dan wilayah konsesi yang ada di tiap komoditas. Izin harus diberikan berdasarkan kompetensi dan kapasitas perusahaan. Tidak boleh ada lagi izin yang diberikan sebagai imbalan kepada organisasi atau kelompok besar, yang berpotensi membatalkan atau memberikan kontraknya kepada perusahaan lain.

Dalam kasus PT Timah, pemerintah bisa saja mencabut izin pertambangan atau wilayah konsesi perusahaan tersebut. Pemerintah lalu dapat memberikan izin tersebut kepada perusahaan lain yang lebih berhati-hati mengerjakan, serta mau melalui proses kerja yang transparan.

Sangat mengkhawatirkan jika mendengar bahkan Presiden Jokowi sendiri telah menawarkan konsesi pertambangan kepada Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia yang dikenal sebagai pendukung pemerintah. Presiden terpilih Prabowo Subianto juga berjanji akan memberikan izin pertambangan kepada NU saat kampanye di Malang, Jawa Timur, pada November lalu.

Selama pemerintah gagal mengelola sumber daya alam, Indonesia akan tetap menjadi negara berkembang yang memasok energi dan mineral ke negara lain. Lalu ketika sumber daya tersebut habis, kita hanya bisa menangisi segala yang terjadi, sementara negara lain yang sempat kita pasok dengan energi dan mineral justru bertumbuh menjadi lebih sejahtera.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.