Undang-undang baru jelas bertujuan memblokir konten jurnalisme investigatif atau memberi ruang bagi pihak berwenang untuk menerapkan sensor terhadap institusi media.
ebebasan pers menghadapi tantangan baru. RUU Penyiaran yang kini tengah dibahas di DPR telah memicu kegaduhan masyarakat akibat pasal-pasal yang membatasi kerja jurnalis.
Meskipun RUU ini berupaya mengakomodasi industri penyiaran yang makin luas karena kini mencakup internet dan dunia digital, RUU ini tidak menyertakan pers. Padahal, justru pers yang menjadi pusat akses masyarakat terhadap informasi dan kebebasan berpendapat di masa lalu.
Setidaknya ada dua persoalan besar yang akan mengisolasi jurnalis dari dunia penyiaran. Yang pertama terkait larangan pekerjaan investigasi. Pasal 50B ayat 2 (c) mengatur bahwa suatu pedoman, yang disebut Standar Isi Siaran (SIS), akan melarang penyiaran konten jurnalisme investigatif secara eksklusif.
Pasal tersebut tidak banyak menjelaskan tentang maksud “jurnalisme eksklusif” atau “jurnalisme investigatif” yang disebut. Namun, pasal itu cukup jelas memberi kesempata pihak berwenang untuk secara langsung memblokir konten jurnalisme investigatif atau menerapkan sensor terhadap institusi media.
Persoalan kedua terkait kewenangan baru Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI akan bertugas membuat SIS. Sehingga mengatur segala hal mencakup batasan, larangan, aturan, kewajiban, dan sanksi bagi semua pihak yang terlibat dalam penyiaran.
Pasal 51 RUU ini akan memberikan mandat kepada KPI, bukan Dewan Pers, untuk menangani pengaduan, pelanggaran, dan perselisihan, termasuk yang berkaitan dengan jurnalisme investigatif. Hal ini semakin menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen anggota parlemen terhadap kebebasan pers di media penyiaran.
Ketentuan baru ini lagi-lagi membayangi pers Indonesia, setelah setidaknya ada dua undang-udang lain yang lolos dari DPR, yang membatasi kebebasan pers. Yang pertama adalah pembatasan terhadap media digital, yang diterapkan berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang mulai berlaku pada 2008. Puluhan jurnalis telah masuk penjara gara-gara undang-undang yang sangat kejam tersebut.
Meski masih menunggu implementasi pada 2026, undang-undang yang disahkan tahun lalu juga membuka jalan untuk kriminalisasi karya jurnalistik yang dianggap menghina lembaga negara, kepala negara, atau ideologi negara Pancasila. Ada juga pasal yang mengatur bahwa jurnalis dapat dituntut jika memuat artikel yang memfitnah dan menyebarkan informasi yang dianggap salah oleh pihak berwenang.
Yang lebih buruk lagi, potensi pembatasan terhadap media penyiaran terjadi ketika jurnalis di semua platform mulai menggunakan media audiovisual. Saat ini, investigasi jurnalis tidak hanya berbentuk teks atau mengandalkan sumber anonim yang mudah dibantah oleh pihak-pihak yang terlibat. Laporan-laporan tersebut juga datang dalam bentuk film dokumenter yang menyertakan rekaman video tentang pelanggaran atau perbuatan salah yang nyata, hingga lebih sulit untuk dibantah.
Asap kebakaran hutan dan kerusakan lingkungan lainnya yang terekam oleh video jurnalis, misalnya, akan sulit dibantah. Secara visual, pesan yang disampaikan sangat kuat, dapat lebih jelas oleh masyarakat.
Jika kenyataan-kenyataan seperti itu yang ingin disembunyikan oleh para pembuat undang-undang, niat mereka perlu dipertanyakan. Terutama niat untuk masyarakat yang telah memilih mereka agar duduk di parlemen.
Beberapa anggota Komisi I DPR yang membidangi komunikasi dan informasi, pertahanan, intelijen, dan urusan luar negeri telah mencoba menangkis tuduhan tersebut. Mereka mengatakan bahwa bukan pekerjaan jurnalis yang hendak mereka batasi, namun media hiburan yang memonetisasi “berita gosip”.
Dengan adanya undang-undang kontroversial yang telah disahkan sebelumnya, kita punya banyak alasan untuk meragukan klaim tersebut.
Benar bahwa pers saat ini punya lebih banyak kebebasan. Pers juga lebih didukung, jika dibandingkan pada masa Soeharto, ketika pemerintah mempunyai kekuasaan untuk menutup perusahaan pers yang dianggap memusuhi pemerintah.
Namun bukan berarti pers saat ini berada dalam zona nyaman. Belum tentu. Dengan menyusutnya ruang sebagai imbas internet dan media sosial, serta kesulitan untuk mendapatkan dukungan keuangan yang berkelanjutan, makin banyaknya pembatasan terhadap jurnalisme berarti udara terbatas yang kita hirup makin tersedot.
Kami tidak akan percaya bahwa pemerintah mendukung jurnalisme dan kebebasan pers sebagai pilar demokrasi, hingga ada bukti nyatanya. Hal yang sama berlaku untuk para pembuat kebijakan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.