TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Kita perlu bertindak, sebelum jatuh lebih banyak korban

Bahkan bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang, tanah longsor, dan lahar, dapat diantisipasi dengan baik untuk mencegah kerugian materil maupun immateriil, termasuk korban jiwa.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Tue, May 21, 2024 Published on May. 20, 2024 Published on 2024-05-20T15:12:20+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Kita perlu bertindak, sebelum jatuh lebih banyak korban Debris and mud cover the ground in Simpang Manunggal on May 12, 2024, the day after a lahar hit the area in Lima Kaum district, Tanah Datar regency, West Sumatra. Mount Marapi erupted on Saturday evening, leading to the disaster that killed 37 people in the two regencies of Tanah Datar and Agam. (Antara/Sigit Putra)
Read in English

M

ari tundukkan kepala, tanda turut berduka cita, atas bencana banjir bandang dan lahar berupa campuran air dan pecahan batuan vulkanik yang melanda sejumlah wilayah di sekitar Gunung Marapi, Sumatera Barat (Sumbar), pada 11 Mei lalu. Bencana itu menyebabkan lebih dari 60 orang tewas dan 14 lainnya hilang. Beberapa bencana alam memang tidak dapat diprediksi. Namun, korban jiwa dapat dicegah dengan sistem mitigasi dan peringatan yang dipersiapkan dengan baik.

Bahkan bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang, tanah longsor, dan lahar, dapat diantisipasi dengan baik untuk mencegah kerugian materil maupun immateriil, termasuk korban jiwa.

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengakui bahwa bencana yang terjadi di Sumbar baru-baru ini menunjukkan “kebodohan” pemerintah. Muhadjir merujuk pada jajarannya yang abai terhadap bencana alam yang berulang kali terjadi di seluruh provinsi, sejak awal tahun ini.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) secara terpisah membenarkan bahwa pemerintah Sumbar belum punya sistem peringatan dini terhadap banjir bandang atau banjir lahar. Pemerintah daerah sejauh ini mengandalkan prakiraan cuaca BMKG, yang biasanya tidak cukup menjelaskan kepada masyarakat mengenai besarnya potensi kerusakan suatu bencana.

Indonesia memang sepertinya tidak pernah belajar dari kesalahan masa lalu. Statistik menunjukkan bahwa bencana, yang seharusnya dapat diprediksi seperti banjir dan tanah longsor, tetap memakan banyak korban jiwa. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sejak 2015, sebanyak 22.435 orang tewas akibat 7.917 bencana banjir. Sementara itu, 3.212 lainnya wafat akibat 7.057 bencana tanah longsor.

Upaya mitigasi dan sistem peringatan dini terhadap bencana hidrometeorologi menjadi semakin penting karena bencana ini semakin sering terjadi, terutama di tengah memburuknya krisis iklim.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Faktanya, curah hujan deras yang kemudian menyebabkan aliran lahar Marapi disebabkan oleh anomali cuaca. Hujan deras yang terjadi konon dipicu kenaikan suhu air laut. Meskipun Indonesia tidak dilewati gelombang panas hebat seperti yang melanda kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara, suhu di negara ini tetap menjadi lebih tinggi, antara lain karena perubahan iklim dan fenomena iklim El Niño.

Bencana yang terjadi di Sumatera Barat baru-baru ini bukanlah yang pertama. Warga sekitar bahkan punya istilah tersendiri untuk menyebut banjir bandang yang membawa endapan material vulkanik hasil letusan Marapi sebagai galodo.

Galodo destruktif pernah terjadi pada April 1979. Saat itu, bencana menghancurkan lima desa di Kabupaten Agam dan Tanah Datar. Peristiwa ini merenggut 60 nyawa dan tercatat 19 orang hilang. Semburan lumpur vulkanik yang mematikan juga terjadi pada 2009, 2010, dan 2017.

Meskipun telah berkali-kali mengalami galodo, baik pihak berwenang maupun penduduk setempat tampaknya masih belum paham betapa berbahayanya kejadian tersebut. Mereka belum juga mengerti harus bertindak bagaimana untuk menghindari kejadian serupa dan kemudian bertahan hidup.

Tak lama setelah kejadian galodo pada 1979, beberapa desa yang terkena dampak direlokasi. Namun, masyarakat tetap kembali ke daerah rawan bencana. Bahkan, masyarakat justru membangun berbagai usaha, seperti kafetaria, di tempat-tempat berbahaya, misalnya di tepi tebing dan bantaran sungai.

Kafe Xakapa yang baru dibangun, terletak di tepi sungai di seberang tujuan wisata populer Air Terjun Lembah Anai di Tanah Datar, tersapu banjir pada 11 Mei. Bencana ini juga memusnahkan beberapa tempat makan dan tempat hiburan lain di dekatnya.

Bencana dahsyat dan mematikan ini seharusnya menjadi sebuah peringatan bagi pemerintah untuk mempersiapkan serangkaian upaya mitigasi. Pemerintah bisa mengidentifikasi daerah rawan bencana, merelokasi bangunan ke daerah yang aman, dan menerapkan sistem peringatan dini yang menyeluruh. Pemerintah juga harus memberi tahu warga tentang bahaya serta cara mengungsi dan lokasi yang aman.

Ada juga kebutuhan mendesak untuk melakukan latihan evakuasi rutin bagi masyarakat setempat. Latihan akan meningkatkan kesiapan mereka menghadapi banjir bandang dan banjir lahar. Pelestarian alam juga penting, karena bencana seperti banjir dan tanah longsor seringkali disebabkan oleh kerusakan alam akibat penebangan liar serta konversi lahan secara besar-besaran.

Bencana alam diperkirakan akan semakin sering terjadi. Dengan makin meningkatnya masalah terkait iklim, bencana alam bisa menjadi bencana besar di masa depan. Indonesia yang rawan bencana harus belajar dari pengalaman di masa lalu untuk mencegah jatuhnya korban. Satu kematian saja sudah terlalu banyak, apalagi jika sebenarnya adanya korban bisa dicegah.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.