Vietnam siap membantu jika Tiongkok dihadapkan pada pembatasan perdagangan AS. Yang perlu kita cemaskan adalah permintaan Tiongkok atas bahan baku dari Indonesia.
alah besar jika Indonesia dituding menarik keuntungan dari meningkatnya suhu perang dagang antara Amerika Serikat-Tiongkok. Perseteruan dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut merupakan berita buruk bagi kita. Sesederhana itu.
Karenanya, bukan kasus sederhana ketika Amerika Serikat, di tengah panasnya situasi jelang pemilihan umum, mengenakan tarif yang sangat tinggi terhadap kendaraan listrik (electric vehicle atau EV) Tiongkok dan produk lainnya, lalu hal itu dibalas Tiongkok dengan caranya sendiri. Ini bukan perebutan tulang antara dua ekor anjing, yang lalu melupakan hadirnya anjing lain di antara mereka. Pertikaian AS dan Tiongkok merugikan, tidak hanya bagi negara mereka sendiri.
Fakta pertama, Tiongkok adalah mitra dagang terbesar Indonesia. Kesejahteraan ekonomi Tiongkok, berhubungan langsung dengan kesejahteraan kita, lebih luas ketimbang kondisi negara lain.
Setiap poin persentase (ppt), lebih atau kurang, dalam pertumbuhan PDB Tiongkok akan menaikkan atau menurunkan pertumbuhan PDB Indonesia sebesar 0,1 ppt. Data itu adalah hasil analisis sensitivitas dari Permata Institute for Economic Research (PIER). Bandingkan dengan dampak yang lebih kecil, yaitu 0,07 ppt di AS dan 0,6 ppt di Uni Eropa.
Kedua, Tiongkok -dalam hal ini adalah wilayah daratan ditambah Hong Kong, adalah investor asing langsung terbesar kedua di Indonesia. Nilai investasinya hampir setara Singapura sebagai investor terbesar.
Ya, beberapa produsen Tiongkok mungkin mempertimbangkan untuk mendirikan fasilitas di negara lain. Pilihan itu diambil agar mereka dapat menikmati akses yang lebih mudah ke pasar AS, dan menerobos hambatan perdagangan.
Vietnam, khususnya, mendapat manfaat dari apa yang disebut sebagai strategi “Tiongkok plus satu” ini. Negara-negara lain di kawasan, seperti Thailand, Malaysia, India, dan Indonesia, juga mengharapkan hal yang sama.
Namun, terdapat perbedaan struktural yang besar antara perekonomian kita dan Vietnam. Indonesia fokus pada sumber daya. Sedangkan perekonomian Vietnam telah lama berupaya bermetamorfosa menjadi pusat manufaktur regional.
Vietnam adalah pesaing Tiongkok di banyak bidang. Sementara itu, perekonomian Indonesia hanya pelengkap bagi Tiongkok. Kita mengirimkan materi industri dan energi seperti nikel dan batu bara, lalu Tiongkok menggunakannya untuk memproduksi beragam benda, seperti kendaraan listrik.
Oleh karena itu, meskipun Vietnam siap membantu jika Tiongkok dikenai pembatasan perdagangan AS, kita harus mencemaskan kondisi permintaan Tiongkok atas bahan-bahan dari Indonesia. Vietnam akan meraup untung. Sedangkan kita akan buntung.
Hal ini bukan sesuatu yang bisa kita ubah dalam semalam, bahkan dalam satu dekade pun belum tentu bisa. Kita perlu meningkatkan kapasitas produksi dan membangun rantai pasokan dari awal. Menilik laporan PDB baru-baru, terlihat bahwa kinerja kita tidak baik di sektor tersebut.
Indonesia telah menempuh perjalanan panjang dalam hilirisasi untuk mengolah sumber daya mineral menjadi bahan baku yang bernilai tambah. Namun, hal yang sama tidak berlaku untuk upaya memproduksi barang jadi. Di sisi itu, kita masih harus menempuh perjalanan panjang.
Selain itu, siapa yang dapat memastikan bahwa AS akan menerima barang-barang yang diproduksi lewat investasi Tiongkok di luar negeri? Lagi pula, jika tujuan di balik pengenaan tarif tinggi adalah untuk “melindungi lapangan kerja di Amerika”, maka Washington juga perlu mencegah impor kendaraan listrik murah, atau panel surya ekonomis, dari negara-negara seperti Vietnam atau, secara hipotetis, Indonesia.
Tarif ini dan itu bukan masalah terbesar di sini. Yang harus dicermati adalah politisasi perdagangan global. Untuk membenarkan langkah yang diambil, yaitu berubah haluan dari negara yang pernah menjadi mercusuar perdagangan bebas, para pembuat kebijakan di Washington menuduh Tiongkok telah memberi subsidi pada industri kendaraan listrik dan panel surya mereka. Namun, tudingan macam itu punya banyak makna, ketika hadir dari negara yang menggelontorkan miliaran dolar untuk produksi semikonduktor.
Pembenaran terhadap kebijakan AS yang didasarkan pada gagasan penyeimbang bea masuk berdasarkan aturan Organisasi Perdagangan Dunia tampaknya tidak masuk akal. Toh jumlah kendaraan listrik Tiongkok di jalan-jalan AS sangat tidak signifikan, jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kendaraan listrik AS di Tiongkok.
Negara-negara berkembang seperti Indonesia, apalagi negara-negara termiskin, akan kesulitan menghadapi dunia. Situasinya, negara-negara maju habis-habisan mempermudah industri mereka dengan subsidi yang besar dan pengenaan bea masuk yang tinggi.
Berkolaborasi dengan negara-negara Selatan lainnya, Indonesia harus mengambil sikap menentang pembatasan geopolitik yang diberlakukan terhadap arus barang global. Hanya dengan cara inilah kita dapat memanfaatkan keunggulan kompetitif kita, misalnya menurunkan biaya tenaga kerja.
Dalam perang dagang besar, kita mungkin akan terkena dampak buruknya saja.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.