TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Bukan beras yang jadi masalah

Komoditas apa pun yang dipilih sebagai alternatif pengganti beras harus dibudidayakan di dalam negeri dengan efisiensi serupa beras, agar harganya tidak juah berbeda dari beras.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Tue, July 2, 2024 Published on Jul. 1, 2024 Published on 2024-07-01T19:38:51+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Bukan beras yang jadi masalah Maintaining grain: Workers unload rice imported from Thailand on Sept. 6, 2023, at Ujung Baru seaport in Medan Belawan, North Sumatra. (Antara/Yudi)
Read in English

S

ebagian besar masyarakat Indonesia pasti setuju bahwa tanpa nasi, makan akan terasa kurang lengkap. Meskipun saat ini, dalam ukuran per kapita, kita mengonsumsi lebih sedikit nasi dibandingkan sebelumnya, nasi tetap merupakan makanan pokok, sumber karbohidrat yang tak tertandingi.

Karena populasi Indonesia terus bertambah, permintaan nasional atas biji-bijian terus meningkat. Petani lokal tidak dapat mengimbanginya. Akibatnya, negara bergantung pada impor untuk mengisi kesenjangan antara pasokan dan permintaan dalam negeri.

Rekor impor beras yang dicadangkan untuk memenuhi permintaan tahun ini seharusnya membuat kita berpikir ulang.

Menurut Badan Pangan Nasional (Bapanas), tahun ini, sekitar 5 juta ton beras mungkin perlu dikirim ke Indonesia. Alasannya, hingga Juni, diproyeksikan bahwa pasokan dalam negeri hanya 18,64 juta ton, 2,47 juta ton lebih sedikit dibandingkan pada semester pertama 2023.

Volume impor tersebut merupakan peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun lalu. Hal itu juga terjadi saat negara-negara lain, terutama Thailand sebagai pemasok beras utama ke Indonesia, mengalami penurunan jumlah panen beras akibat cuaca buruk.

Bagi semua pemerintahan, ketahanan pangan merupakan perhatian utama. Karena itu, hal ini merupakan masalah yang besar.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Kegagalan yang terus berulang dalam menjamin kecukupan pasokan dalam negeri atas makanan pokok khas Indonesia – meskipun negara-negara lain juga memiliki klaim yang sama untuk tradisi kuliner tersebut – setidaknya merupakan hal yang memalukan. Ada yang berargumentasi bahwa tidak menanam padi dalam jumlah yang cukup di tanah air merupakan kerentanan strategis bagi negara kepulauan ini.

Orang asing yang membaca menu di restoran bisa saja merasa bahwa terdapat nasi dalam jumlah lebih dari cukup di negara ini. Bisa juga ia berpikir bahwa pola makan yang lebih beragam, atau setidaknya mengganti sebagian nasi putih dengan varian gandum utuh, akan bermanfaat bagi masyarakat Indonesia.

Pesohor Indonesia juga sering menyarankan untuk mengonsumsi lebih banyak jenis makanan lain demi mengurangi konsumsi beras nasional. Dengan demikian, akan menghindari kebutuhan impor.

Namun, perubahan seperti itu belum tentu membantu mengatasi masalah yang ada.

Agar tindakan mengganti nasi berhasil, komoditas apa pun yang dipilih sebagai alternatif pengganti beras harus dibudidayakan di dalam negeri dengan efisiensi yang sama. Dengan begitu, dapat menghasilkan produk dengan tingkat keterjangkauan yang sama dengan beras.

Dan di sinilah awal masalahnya. Masalah serupa yang mempengaruhi produksi padi juga akan mempengaruhi produksi bahan makanan alternatif lain. Sebut saja, kurangnya lahan yang tersedia, infrastruktur irigasi yang tidak memadai, dan metode budidaya yang sudah ketinggalan zaman.

Sejujurnya, seluruh sektor pertanian kita sangat membutuhkan reformasi struktural yang mendalam untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Hasil panen per hektar harus ditingkatkan untuk mencapai pertumbuhan hasil akhir secara keseluruhan melalui intensifikasi, bukan ekstensifikasi.

Selain perbaikan infrastruktur, lebih banyak mesin harus digunakan untuk meminimalisir biaya dan mengurangi ketergantungan pada jenis pekerjaan di lahan pertanian yang tidak lagi diminati oleh banyak generasi muda.

Yang paling penting, mungkin, pertanian perlu dikonsolidasikan menjadi entitas yang lebih besar, serta dijalankan dengan pola pikir bisnis, untuk mencapai skala ekonomi.

Kondisi negara kita sebagai negara agrikultur akan berubah setelah mengalami reformasi yang tepat, dan akan membuat sebagian besar tenaga kerja pertanian yang ada saat ini menjadi mubazir. Hal ini mungkin terdengar sulit bagi pemerintah mana pun. Namun, tidak ada bisnis yang dapat terus-menerus memberi faedah serupa, atau lebih baik lagi, bagi semua orang dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit. Dan hal itu berlaku di sektor apa pun, baik manufaktur, perdagangan, atau teknologi. Begitu juga dengan badan usaha pertanian, baik itu agribisnis, koperasi, atau food estate milik negara.

Bagaimanapun, perancangan ulang pertanian Indonesia secara besar-besaran akan memakan waktu bertahun-tahun. Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang tiba-tiba menjadi pengangguran. Sebaliknya, pengurangan tenaga kerja di sektor pertanian akan menjadi sebuah proses alami karena penduduk lanjut usia akan masuk masa pensiun dan semakin sedikit pekerja muda yang menggantikan mereka.

Indonesia dapat belajar banyak dari negara lain, seperti Thailand. Di sana, banyak drone melayang di atas sawah. Dengan luas wilayah daratan yang jauh lebih sempit, pertanian yang maju di Thailand memungkinkan negara itu memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan mudah. Mereka bahkan juga mengekspor dalam jumlah besar.

Daripada disibukkan dengan program food estate yang dikelola negara, pemerintah harus fokus pada reformasi pertanian yang memajukan seluruh desa. Pemerintah harus membantu petani menggabungkan lahan mereka, meningkatkan kemampuan mereka, dan mengubah diri mereka menjadi pebisnis pertanian.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.