Ia tidak hanya menyerahkan kesempatan mencalonkan diri sebagai presiden kepada Prabowo, ia juga mempertaruhkan citra Golkar karena mengikuti perintah penguasa, yang tampak abai pada nilai-nilai demokrasi.
ara pendiri negara kita memilih pohon beringin sebagai simbol sila ketiga Pancasila – persatuan Indonesia. Alasannya bisa jadi karena pohon tersebut berumur panjang dan ukurannya sangat besar. Beringin menyediakan tempat berteduh. Pohon tersebut juga mewakili Partai Golkar karena alasan yang sama, yaitu sesuai dengan klaim partai yang melayani aspirasi politik seluruh lapisan masyarakat.
Namun, dalam satu dekade terakhir ini, masyarakat menjadi saksi bagaimana Golkar telah menjadi alat politik dari lembaga kekuasaan semata. Ia mengorbankan nilai-nilai dasar dan konstituennya. Yang lebih penting, Golkar mengorbankan demokrasi Indonesia yang masih tergolong muda. Elit partai melihat kekuasaan sebagai satu-satunya mata uang. Golkar hanya mengikuti irama rezim, dengan segala konsekuensinya, termasuk mengganti ketua yang tidak dapat memenuhi keinginan penguasa.
Pengunduran diri Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto pada Minggu 11 Agustus lalu, meski mengejutkan, bukan merupakan hal di luar dugaan. Dengan mundurnya Airlangga, artinya posisi tertinggi partai telah berpindah tangan empat kali dalam 10 tahun terakhir. Dan itu tidak termasuk adanya kepemimpinan ganda pada 2016. Singkatnya, partai tersebut telah dibebani drama perebutan kekuasaan yang berakhir dengan munculnya sosok yang berjanji untuk setia kepada pemerintah.
Keputusan Airlangga untuk mengundurkan diri terjadi hanya dua bulan sebelum transisi kekuasaan dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo ke presiden terpilih Prabowo Subianto. Padahal, suksesi itu telah dipersiapkan oleh Airlangga, sebagai bagian dari Koalisi Indonesia Maju (KIM). Sebagai menteri koordinator ekonomi, Airlangga memprakarsai simulasi program makan siang gratis di sekolah, yang akan menjadi program andalan Prabowo setelah menjabat pada Oktober mendatang.
Golkar, khususnya Airlangga, memainkan peran kunci dalam membuka jalan bagi kebangkitan Prabowo. Partai tersebut membentuk Koalisi Indonesia Bersatu, yang kemudian berganti nama menjadi KIM, dan mencalonkan Ketua Umum Gerindra untuk pemilihan presiden, tentu saja atas permintaan Presiden Jokowi.
Golkar, dipimpin Airlangga, juga merupakan partai politik pertama yang secara resmi mencalonkan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi sekaligus Wali Kota Surakarta, sebagai calon wakil presiden Prabowo. Pencalonan Gibran menyusul keputusan kontroversial Mahkamah Konstitusi yang mengubah batas usia calon presiden dan wakil presiden yang ditetapkan oleh Undang-Undang Pemilu.
Sebagai ketua partai propemerintah, "pengorbanan" Airlangga dianggap luar biasa. Dia tidak hanya menyerahkan kesempatan mencalonkan diri sebagai presiden kepada Prabowo, tetapi juga mempertaruhkan citra Golkar karena mengikuti perintah penguasa. Ia, seolah-olah, mengabaikan nilai-nilai demokrasi. Kita ingat dukungan Airlangga terhadap gagasan memperpanjang masa jabatan presiden Jokowi, yang akhirnya gagal.
Dalam sebuah pernyataan video, Airlangga mengatakan bahwa ia telah mengundurkan diri dari jabatannya pada Sabtu malam untuk "menjaga integritas Golkar dalam memastikan stabilitas transisi pemerintahan yang akan segera terjadi". Ia tidak menjelaskan lebih lanjut, tetapi dapat dikatakan bahwa ia berada di bawah tekanan eksternal mengingat ia telah memimpin partai tersebut hampir tanpa penantang sejak Desember 2017.
Faktanya, telah muncul gesekan antara Golkar dan KIM menjelang pemilihan kepala daerah pada 27 November. Golkar akhirnya mengizinkan kadernya, Ridwan Kamil, untuk mencalonkan diri sebagai gubernur di Jakarta, di bawah bendera KIM. Ia akan menghadapi persaingan ketat jika Anies Baswedan ikut serta dalam pemilihan tersebut. Namun di Banten, Golkar bersikeras mencalonkan politisinya sendiri, Airin Rachmi Diany, sebagai gubernur. Partai tersebut bahkan bersekutu dengan oposisi de facto Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sehingga berbenturan dengan calon potensial politisi Gerindra Andra Soni.
Olok-olok yang beredar di media sosial menyebutkan bahwa kesalahan terbesar Airlangga adalah karena terlalu setia pada Jokowi, dan bukan keterlibatannya dalam kasus korupsi terkait distribusi minyak goreng atau ketidakharmonisan yang ditimbulkannya di dalam tubuh KIM. Namun, apa pun motif di balik pengunduran diri Airlangga yang sangat mendadak, drama politik tersebut hanya menegaskan bahwa demokrasi di negara ini tidak berjalan dengan baik.
Sebelum Golkar, partai terbesar kedua di negara ini setelah PDI-P, partai-partai politik yang lebih kecil telah menjadi korban permainan kekuasaan para petinggi. Demokrasi butuh partai politik yang kuat dan kredibel.
Dalam pernyataan videonya, Airlangga mengatakan bahwa demokrasi harus dijaga dan ditegakkan. Tetapi nyatanya, Golkar telah berkontribusi terhadap kemunduran demokrasi di negara ini. Meski begitu, pernyataan Airlangga ada benarnya: demokrasi kita harus tumbuh sekuat pohon beringin.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.