TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Bebas dari pasung

Jelang hari Kemerdekaan ke-79, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang melarang praktik tidak manusiawi pemasungan orang dengan penyakit mental. Masih banyak yang dibutuhkan dalam hal regulasi teknis dan kerangka pendanaan untuk memperluas sumber daya dalam memastikan akses nasional terhadap perawatan kesehatan mental.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Thu, August 22, 2024 Published on Aug. 21, 2024 Published on 2024-08-21T17:46:09+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Bebas dari pasung Aleksius Dugis, a 31-year-old man with mental illness, is shackled in a makeshift shed outside the kitchen of his parents’ house in Zola village of Kota Komba district, East Manggarai regency, East Nusa Tenggara, in this file photo from February 2019. (The Jakarta Post/Markus Makur)
Read in English

H

ari Kemerdekaan adalah kesempatan untuk merenungkan perjuangan rakyat dalam upaya melepaskan diri dari penjajahan, dan mengklaim kedaulatan sebagai sebuah bangsa. Tahun ini, peringatan pada 17 Agustus juga istimewa karena pemerintah secara nasional memberlakukan larangan praktik pasung, atau membelenggu orang yang sakit mental.

Pada akhir Juli, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2024 sebagai aturan pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan tahun 2023. Di antara ketentuan dalam peraturan baru tersebut, terdapat larangan memasung dan melakukan tindak kekerasan terhadap orang dengan masalah kesehatan mental.

Para pakar kesehatan mental bergembira menyambut kebijakan baru tersebut. Pasalnya, kondisi sektor kesehatan mental di Indonesia lumayan suram. Indonesia, dulu, merupakan satu dari 60 negara di dunia yang merestui praktik pemasungan bagi orang dengan gangguan mental.

Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang baru-baru ini dirilis Kementerian Kesehatan menemukan bahwa 6 persen rumah tangga memasung anggota keluarga mereka yang didiagnosis menderita skizofrenia. Lebih buruk lagi, satu dari empat keluarga tersebut telah memasung kerabat yang menderita skizofrenia tersebut selama tiga bulan sebelum data dikumpulkan.

SKI 2023 juga menemukan bahwa sebagian besar kasus pemasungan terjadi di rumah tangga berpenghasilan rendah, di daerah pedesaan. Mereka tidak punya akses ke perawatan kesehatan mental. Dalam kasus seperti itu, kerabat yang terganggu mentalnya dipasung dan dikurung, atau ditempatkan di kandang ternak. Di situlah mereka makan, tidur, dan buang air. Sering kali, si kerabat tinggal di tempat itu bersama-sama dengan orang lain sesama penderita gangguan mental.

Kondisi yang terungkap dalam survei tahun lalu tersebut meningkatkan pentingnya peraturan baru yang melarang praktik pemasungan. Namun, pertanyaan tentang efektivitas penerapan dan penegakan kebijakan baru masih belum terjawab.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Berdasarkan aturan baru tersebut, pihak berwenang bertanggung jawab untuk membebaskan orang dengan penyakit mental dari pasungan. PIhak berwenang juga harus memastikan mereka memiliki akses ke perawatan kesehatan mental, bisa tinggal di tempat aman selama masa pemulihan, dan punya tempat berteduh, jika mereka tidak punya rumah. Namun, semua ini bukanlah hal baru, karena tenaga kesehatan di banyak daerah telah menyediakan layanan tersebut selama bertahun-tahun.

Yang perlu dilakukan negara untuk mengatasi masalah ini adalah memperluas jumlah fasilitas kesehatan yang menyediakan layanan kesehatan mental. Negara juga perlu memperbanyak jumlah penyedia layanan kesehatan medis.

Data dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menunjukkan bahwa negara ini hanya memiliki 1.120 psikiater. Dari jumlah tersebut, masing-masing menangani 241.000 pasien. Bandingkan dengan rasio ideal 1 psikiater per 30.000 orang seperti yang direkomendasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Seolah memperburuk situasi, sebagian besar psikiater di Indonesia berkantor di kota-kota besar di Jawa. Artinya, orang yang tinggal di daerah pedesaan dan di luar Jawa jadi kesulitan mengakses layanan kesehatan mental.

Peraturan baru ini juga merinci tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah dalam membantu meningkatkan sektor kesehatan mental tersebut. Di antara tanggung jawab, termasuk pembuatan kebijakan, pendanaan, dan mempermudah aksesibilitas terhadap layanan kesehatan mental di semua daerah.

Namun kebijakan tersebut hanya sampai di situ. Kebijakan itu tidak merinci, misalnya, cara memastikan ketersediaan dan pemerataan psikiater di seluruh nusantara. Kebijakan tersebut juga tidak menawarkan kerangka kerja yang jelas tentang cara mendanai upaya menyediakan akses nasional terhadap layanan kesehatan mental.

Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa perincian lebih lanjut akan segera dikeluarkan dalam peraturan menteri berikutnya.

Namun, bukankah kita sudah terlalu lama menunggu rencana aksi, sementara semakin banyak orang mengantre untuk mendapatkan perawatan kesehatan mental, bebas dari praktik pasung? Dan apakah ada jaminan bahwa pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto yang akan datang akan bekerja serius untuk mendorong perbaikan dalam perawatan kesehatan mental di negara ini?

Diperlukan rencana aksi yang konkret untuk membantu semua orang dengan penyakit kesehatan mental. Dan yang perlu dibantu termasuk mereka yang dipasung. Karena dengan bisa membantu semuanya, seseorang yang sakit jiwa akan sepenuhnya mandiri, baik secara fisik maupun spiritual.

Bagaimanapun, para pendiri negara kita telah memproklamasikan kemerdekaan, untuk membebaskan semua orang Indonesia dari belenggu kemiskinan dan kesenjangan.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.