Pemerintah yang baru, dengan bantuan negara-negara maju, perlu memperbanyak upaya menarik lebih banyak investasi terkait energi bersih, khususnya di sektor kelistrikan.
agi para pembaca yang cerdas, tidak ada yang mengherankan jika pada kenyataannya Indonesia akan gagal mencapai target energi bersih. Dan selisih kegagalannya pun cukup besar.
Sudah jelas bahwa investasi dalam pembangkitan energi terbarukan terhambat sejumlah faktor.
Awal bulan ini, seorang pejabat tinggi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengakui bahwa negara perlu menambah kapasitas pembangkitan listrik sebesar 8,2 gigawatt (GW), dari sumber energi terbarukan. Dan penambahan itu harus dilakukan pada akhir tahun depan.
Jelas, hal itu tidak akan terjadi, seperti yang ditunjukkan oleh data Kementerian Energi sendiri. Indonesia hanya menarik investasi energi baru dan terbarukan senilai $580 juta dolar Amerika hingga Agustus. Artinya hanya sekitar 47 persen dari target setahun penuh sebesar $1,23 miliar. Angka itu jauh dari harapan.
Proyek-proyek yang saat ini sedang dalam proses pengerjaan meliputi pembangkit listrik tenaga surya, hidroelektrik, mikrohidro, dan angin. Total kapasitas masing-masing adalah sebesar 2,83 GW, 1,7 GW, 787 megawatt, dan 527 MW.
Investasi untuk proyek-proyek tersebut saja diperkirakan mencapai $14 miliar juta dolar. Artinya, meskipun kita berhasil mencapai target investasi tahun ini, angkanya akan kurang dari sepersepuluh dari jumlah yang dibutuhkan untuk proyek-proyek tersebut.
Singkatnya, kita perlu secara signifikan meningkatkan angka investasi yang saat ini digunakan untuk pengembangan energi terbarukan di negara ini.
Untuk mencapainya, tidak hanya diperlukan regulasi yang mendukung bagi investor swasta, tetapi juga lingkungan pasar yang menguntungkan. Dalam kondisi tersebut, kekuatan penawaran dan permintaan akan mendorong belanja modal.
Mari melihat sisi regulasi terlebih dahulu. RUU energi terbarukan telah lama terkatung-katung. Wajar saja jika investor ragu untuk terlibat dalam industri apa pun sementara aturannya masih belum jelas.
Ketika RUU tersebut akhirnya disahkan, isinya diharapkan akan mencakup ketentuan tentang power wheeling. Ketentuan ini memungkinkan produsen listrik independen untuk menjual listrik langsung ke konsumen melalui jaringan transmisi PLN.
Menurut laporan terbaru, peraturan tersebut dimaksudkan untuk mengakomodasi masalah penjualan listrik langsung tersebut. Tetapi, masalah berkembang menjadi penuh perdebatan selama pembahasan RUU tersebut. Rincian tentang biaya dan ketentuan harus mengakomodasi investor swasta, tetapi juga konsumen yang ingin mendapatkan listrik bersih.
Sebagai perusahaan yang memonopoli distribusi listrik, perusahaan listrik milik negara PLN tidak boleh mengeksploitasi posisi pasarnya sehingga merugikan produsen listrik independen.
Mengenai lingkungan pasar, listrik berbahan bakar batu bara yang memblokade jaringan Jawa-Bali telah lama menjadi hambatan bagi investasi energi terbarukan. Rencana untuk menghentikan lebih awal pembangkit listrik berbahan bakar batu bara tampaknya dibahas hampir setiap hari, tetapi perubahan di lapangan diukur dalam hitungan tahun.
Sponsor internasional telah berjanji untuk membantu ekonomi kita yang sedang berkembang dalam usaha yang mahal ini. Namun, janji saja tidak akan banyak membantu. Butuh waktu bertahun-tahun untuk sampai pada perdebatan terbuka soal biaya, dan diskusi lalu menjadi canggung sejak saat itu.
Rasanya persis situasi kencan pertama yang menyebalkan. Bayangkan dua orang yang telah duduk di restoran mewah dan kemudian sadar bahwa tidak ada yang punya cukup uang di saku mereka. Dijamin, seluruh suasana malam akan rusak meski rasa makanan yang disantap enak-enak.
Namun, kita tidak boleh malu untuk berbicara tentang uang, termasuk di Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP) di Azerbaijan. Konferensi akan diselenggarakan dalam waktu kurang dari dua bulan lagi.
Tahun ini, investasi energi bersih global diperkirakan akan meningkat dua digit menjadi $2 triliun, menurut Badan Energi Internasional. Tetapi sebagian kecil dari investasi tersebut masuk ke negara-negara berkembang, tidak termasuk Tiongkok.
Pemerintahan yang baru, dengan bantuan negara-negara maju, perlu memperbanyak upaya negara untuk menarik lebih banyak investasi terkait energi bersih, khususnya di sektor listrik.
Yang menggembirakan adalah kenyataan bahwa peningkatan investasi dalam energi bersih umumnya menurunkan biaya produksi listrik. Contohnya ada pada penggunaan tenaga surya, yang jika dirata-rata biaya listriknya lebih kompetitif, bahkan jika dibandingkan dengan dengan batu bara.
Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak dapat mencapai pertumbuhan serupa terkait energi terbarukan lainnya. Yang jelas, kita harus tetap bersemangat dalam masa transisi.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.