Sebagai partai terbesar di DPR, PDI-P dibebani harapan besar publik yang berharap partai tersebut menjaga demokrasi tetap menyala melalui pandangan kritisnya terhadap kebijakan pemerintah.
ajah-wajah bahagia menghiasi pelantikan 580 anggota DPR untuk masa jabatan 2024-2029 pada Selasa 1 Oktober lalu. Lupakan pertarungan yang terjadi pada 14 Februari, saat mereka berjuang mati-matian untuk memperebutkan kursi legislatif yang kini mereka duduki.
Suasana akrab dan damai tetap terasa ketika anggota DPR yang baru dilantik memilih kembali politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Puan Maharani sebagai Ketua DPR. Suara mereka bulat. Kembalinya Puan ke jabatan puncak legislatif mengakhiri spekulasi yang telah berbulan-bulan. Ada desas-desus tentang Koalisi Indonesia Maju (KIM) di bawah presiden terpilih Prabowo Subianto yang mendorong revisi UU tentang Lembaga Legislatif, dikenal sebagai MD3, yang akan membuat PDI-P kehilangan jabatan ketua DPR. Hal tersebut pernah terjadi pada 2014.
Rencana amandemen UU tersebut mengemuka karena PDI-P tidak mengikuti jejak Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang memilih mendukung pemerintahan Prabowo yang baru. Ketiga partai tersebut adalah lawan Partai Gerindra dalam pemilihan presiden Februari lalu, dengan mendukung tokoh oposisi Anies Baswedan. Ketiga partai tersebut telah membuktikan kesetiaan mereka pada koalisi Prabowo dengan membatalkan pencalonan Anies untuk pemilihan gubernur Jakarta.
PDI-P sebetulnya sempat hendak memilih Anies sebagai kandidatnya dalam pemilihan kepala daerah di Jakarta, setelah Mahkamah Konstitusi melonggarkan ambang batas jumlah kursi legislatif yang diperlukan untuk mengajukan calon. Lalu terjadi perubahan dramatis pada 26 Agustus. Rumor yang beredar menyebutkan bahwa pencalonan Anies oleh PDI-P akan mempercepat amandemen UU MD3.
Berdasarkan UU MD3 yang berlaku saat ini, PDI-P berhak menduduki jabatan ketua DPR karena memperoleh kursi legislatif terbanyak dalam pemilihan umum 14 Februari. Keberhasilan menduduki kursi ketua DPR, yang ketiga kalinya secara berturut-turut bagi PDI-P, merupakan pencapaian pelipur lara setelah kalah dalam pemilihan presiden. Prabowo menjadi presiden terpilih, yang sebagian besar kemenangannya berkat dukungan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Dukungan Jokowi terhadap Prabowo membuat PDI-P meradang. PDI-P dan Jokowi, yang sebelumnya sekutu, hingga kini masih belum berdamai.
Prabowo secara terbuka menyatakan niatnya untuk mengajak PDI-P masuk ke dalam koalisi besar KIM. Sementara itu, PDI-P tetap bungkam tentang sikapnya terhadap pemerintahan yang akan datang. Jika rencana pertemuan antara Megawati dan Prabowo terwujud, keduanya mungkin akan membicarakan, bahkan bersepakat, tentang koalisi tersebut.
Namun, meskipun Prabowo dan Megawati sepakat untuk tidak sejalan, masih ada keraguan jika PDI-P tetap akan memainkan peran oposisi, seperti yang dilakukannya selama 10 tahun di waktu lampau, saat masa jabatan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Salah satu alasannya adalah hubungan yang hangat antara Prabowo dan Megawati. Keduanya berseberangan dalam pemilihan presiden 2009, tetapi tetap sebagai satu tim, yang sama-sama kalah saat melawan Yudhoyono sang petahana.
Beberapa orang di lingkaran dalam PDI-P bahkan menyatakan bahwa Megawati tidak menaruh dendam terhadap Prabowo, hanya bermusuhan dengan Jokowi. Itulah sebabnya pertemuan yang sangat ditunggu-tunggu antara dua petinggi kedua partai terbesar di Indonesia itu kemungkinan besar akan segera terjadi. Pertemuan itu akan baik untuk bangsa, tetapi hanya jika keduanya menahan diri dari terciptanya situasi tawar-menawar politik yang akan membahayakan demokrasi.
Sebagai partai terbesar di DPR, PDI-P terbebani harapan publik yang semakin besar, bahwa partai tersebut dapat menjaga demokrasi tetap menyala melalui pandangan kritisnya terkait kebijakan pemerintah. Partai akan memastikan mekanisme checks and balances berjalan, meskipun tidak sepenuhnya, dengan catatan jika mampu menahan godaan manis kekuasaan.
Kita telah melihat cara Jokowi memulai pemerintahannya dengan dukungan minoritas di DPR pada 2014. Tapi, Jokowi lalu secara bertahap mengonsolidasikan kekuasaannya untuk mengendalikan kekuasaan legislatif atas nama stabilitas politik. Namun, pada akhirnya, yang dilakukan Jokowi hanya menghasilkan kediktatoran mayoritas. Ia mereduksi DPR menjadi pemilik stempel karet yang dengan mudah mengesahkan undang-undang yang disponsori pemerintah, yang dalam banyak kasus tidak selalu mencerminkan keinginan rakyat. Contoh undang-undang tersebut, antara lain, UU Komisi Pemberantasan Korupsi serta UU Cipta Kerja.
Prabowo, yang telah mengidentifikasi pemerintahannya sebagai penerus pemerintahan Jokowi, akan mewarisi kendali yang lebih besar atas dewan legislatif. Masuknya PDI-P ke dalam koalisi yang berkuasa akan membawa Indonesia kembali ke era Orde Baru. Saat itu, demokrasi dihiasi "suara bulat", tidak ada oposisi. Si “suara bulat” itu membuat sikap oposisi, atau ketidaksetujuan, menjadi hal yang tabu di DPR.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.