Upaya pintas merekrut pemain asing hanya menegaskan kelemahan negara dalam mengembangkan sepak bola. Buktinya, Indonesia harus menunggu selama 32 tahun untuk mendapatkan kembali medali emas sepak bola di SEA Games tahun lalu.
Sekali lagi, keajaiban nyaris terjadi saat Indonesia mengejar impian lama untuk pertama kalinya masuk dalam seleksi piala dunia sepak bola. Kali ini Indonesia hampir saja mengalahkan tuan rumah Bahrain dalam babak kualifikasi Piala Dunia Asia pada Kamis 10 Oktober. Tuan rumah harus membobol gawang Indonesia di menit-menit terakhir di waktu tambahan untuk mendapatkan hasil imbang 2-2.
Ini adalah ketiga kalinya Indonesia mengejutkan lawan yang jauh lebih kuat. Indonesia merupakan negara kecil di dunia sepak bola, meskipun punya banyak bakat. Tim Indonesia telah berhasil menahan tim yang langganan jadi finalis Piala Dunia, yaitu Arab Saudi dan Australia, masing-masing dengan skor 1-1 dan 0-0. Lalu, Indonesia mengalahkan Bahrain hingga titik maksimal tempo hari.
Prestasi tersebut di luar dugaan, mengingat adanya kesenjangan yang lebar dalam peringkat dunia antara Indonesia dan ketiga negara pesaingnya. Sebelum serangkaian kejutan itu, Bahrain mengalahkan Indonesia 10-0 dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2012; Arab Saudi mengalahkan Indonesia 6-0 dan 5-0 dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2003, dan Australia menang 4-0 atas Indonesia di Piala Asia, Januari tahun ini.
Perubahan mendadak dalam performa Indonesia bermula dari strategi naturalisasi yang digagas Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) di bawah pimpinan Erick Thohir. Erick adalah pengusaha sekaligus politikus, yang menjabat sebagai menteri BUMN saat ini.
Kecintaan Erick pada sepak bola, dan olahraga secara umum, tidak perlu diragukan lagi. Ia memiliki klub raksasa Italia Inter Milan dan klub Major League Soccer DC United. Saat ini, ia memiliki sebagian dari klub Championship Inggris Oxford. Jaringan sepak bola internasionalnya telah membantu Erick membangun tim nasional yang kuat. Dan tim nasional kemudian diperkuat oleh pemain-pemain naturalisasi, kebanyakan dari Belanda, yang secara rutin bertanding di stadion-stadion Eropa dan Amerika.
Sebut saja Maarten Paes, yang bermain untuk FC Dallas, adalah pilihan utama kiper pelatih Shin Tae-yong. Kemudian Rafael Struick dan Ragnar Oratmangoen, yang mencetak gol Indonesia melawan Bahrain pada Kamis lalu, adalah pemain klub Liga Australia Brisbane Roar dan klub Liga Primer Belgia Dender.
Dampak hadirnya para pemain naturalisasi dalam tim Indonesia langsung terasa, karena tim nasional kini dapat menandingi kekuatan Asia. Tiga hasil imbang tersebut tentu akan meningkatkan semangat Indonesia saat menghadapi pesaing lain di grup, yaitu Tiongkok dan Jepang, pada 15 Oktober dan 15 November.
Dua tim teratas dari setiap grup di babak kualifikasi ini akan melaju ke Piala Dunia 2026. Ajang tersebut akan diselenggarakan sebagai kolaborasi Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko. Tim yang berada di posisi ketiga dan keempat akan berkesempatan melaju untuk main di babak kualifikasi keempat.
Namun, banyak yang mempertanyakan ketergantungan tim nasional yang berlebihan pada para pemain naturalisasinya. Seperti pada dua pertandingan sebelumnya, pada pertandingan di Bahrain, pemain naturalisasi mendominasi susunan pemain inti.
Sejauh ini, PSSI telah merekrut 14 pemain naturalisasi. Dua pemain lagi yang akan segera bergabung. Dampaknya, pemain lokal makin sulit menjadi bagian dari tim nasional. Sang pelatih Shin dari Korea Selatan telah menaikkan standar yang lebih tinggi dalam proses pemilihan pemain. Bahkan jika para atlet Indonesia berhasil mendapat panggilan untuk tugas internasional, mereka harus puas dengan hanya menjadi pemain pengganti.
Tentu saja, perebutan tempat di tim kini lebih ketat dari sebelumnya. Di satu sisi, ini hal baik karena jelas hanya pemain terbaik yang dapat bergabung. Namun di sisi lain, upaya naturalisasi semakin menegaskan kekurangan negara dalam mengembangkan sepak bola. Hal itu terbukti dari fakta bahwa Indonesia harus menunggu selama 32 tahun untuk kembali meraih medali emas sepak bola, di SEA Games tahun lalu.
Kebijakan naturalisasi pemain tim nasional juga menimbulkan pertanyaan tentang diskriminasi. Sementara para pemain sepak bola butuh waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk mendapatkan paspor Indonesia, orang asing cukup tinggal di negeri ini lima tahun berturut-turut sebelum dapat mengajukan kewarganegaraan Indonesia.
Hak istimewa seperti itu tentu saja menimbulkan dugaan bahwa para pemain naturalisasi itu masih menyimpan paspor lama mereka, dari negara asal. Dan hal itu merupakan tindakan ilegal di Indonesia. Direktur Jenderal Imigrasi Silmy Karim telah membantah anggapan ini.
Sejauh ini, yang kita tahu, jalan pintas naturalisasi pemain telah mengangkat derajat tim nasional. Hanya saja, kita masih belum tahu konsekuensi apa yang harus kita bayar kemudian.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.