Baru dua bulan menjabat, Presiden Prabowo telah mengejutkan Indonesia dengan rencana memberi amnesti kepada 44.000 narapidana di seluruh negeri.
Para pemimpin Indonesia sebelum ini sangat jarang menggunakan hak prerogatif presiden untuk memberikan amnesti, tetapi tidak demikian halnya dengan Presiden Prabowo Subianto. Hak memberikan amnesti merupakan satu dari banyak kewenangan yang menyertai jabatan presiden. Dan baru dua bulan menjabat, Prabowo telah mengejutkan negara dengan rencana mengampuni 44.000 narapidana di seluruh negeri.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, yang membuat pengumuman setelah rapat kabinet pada 13 Desember, tidak menyebutkan nama atau rincian yang diberi amnesti. Namun, ia mengutip bahwa alasan kemanusiaan dan rehabilitasi adalah landasan utama keputusan untuk membebaskan para tahanan. Selain itu, bonus dari pembebasan mereka adalah meringankan beban penjara di Indonesia yang terkenal penuh sesak.
Supratman mengatakan bahwa daftar penerima amnesti mencakup tahanan politik, termasuk beberapa pemberontak separatis Papua. Kemudian, ada juga mereka yang dipenjara karena melanggar undang-undang siber saat melakukan kebebasan berbicara. Banyak di antara mereka adalah yang sakit parah, mereka yang mengidap HIV/AIDS, mereka yang membutuhkan perawatan kesehatan khusus, serta para pecandu narkoba yang akan menjalani rehabilitasi sebagai gantinya.
Ini adalah kabar baik bagi Papua, tempat konflik bersenjata sedang berlangsung, juga bagi para aktivis yang berjuang untuk mempertahankan kebebasan berekspresi.
Kita melihat sisi lain Prabowo. Sisi itu tidak diduga oleh siapa pun akan ada di diri laki-laki usia 73 tahun yang menghabiskan sebagian besar kehidupan profesionalnya sebagai prajurit. Ia banyak terlibat dalam perang dan konflik yang mencakup pembunuhan. Ada tuduhan tentang perannya dalam penculikan dan penghilangan mahasiswa dan aktivis antipemerintah pada 1990-an. Ia juga dituding campur tangan dalam kerusuhan besar-besaran di Jakarta pada 1998. Tuduhan-tuduhan ini tidak pernah terbukti di pengadilan, tetapi menyebabkan ia dipecat dari Angkatan Darat pada 1999. Tuduhan itu terus menghantui Prabowo hingga hari ini.
Rencana amnesti sebesar ini konsisten dengan keputusan sebelumnya, yaitu memindahkan tahanan asing yang dihukum karena perdagangan narkoba untuk menjalani sisa hukuman penjara di negara asal mereka.
Pekan ini, Mary Jane Veloso, seorang pekerja migran Filipina akan kembali ke negaranya. Ia dijatuhi hukuman mati, dan permohonan amnesti, yang menjadi cara penangguhan hukuman terakhir yang tersedia, telah ditolak oleh pendahulu Prabowo, Joko “Jokowi” Widodo. Keputusan untuk memulangkannya tepat waktu menjelang perayaan Natal benar-benar menyelamatkan nyawanya, karena Filipina telah lama menghapus hukuman mati. Sekarang terserah Manila untuk memutuskan nasib hukum Veloso.
Lima anggota terakhir gerombolan pengedar narkoba warga Australia yang dikenal sebagai “Bali Nine” juga akan pulang ke rumah pekan ini. Mereka akan menjalani sisa hukuman penjara di negara mereka. Dua rekan mereka yang dijatuhi vonis mati telah dieksekusi pada 2015. Dua lainnya meninggal dalam tahanan.
Pejabat Indonesia telah menekankan bahwa keputusan tentang narapidana asing tidak termasuk dalam amnesti presiden, tetapi di bawah skema pemindahan narapidana antara dua negara.
Tanpa bicara masalah hukum, yang paling mengejutkan adalah semangat welas asih di balik keputusan-keputusan yang hanya bisa datang dari Presiden ini.
Beberapa pakar hukum telah memperingatkan kurangnya landasan hukum di balik keputusan-keputusan ini. Mereka menilai keputusan ini tampaknya dibuat secara impulsif. Pengaturan pemindahan tahanan dibuat setelah perjanjian-perjanjian disepakati secara terpisah antara Prabowo dan mitra-mitranya dari Filipina dan Australia. Pengumuman pemindahan tahanan kemudian datang dari Manila dan Canberra, yang mengejutkan para pejabat di Jakarta.
Rencana pemberian amnesti dalam skala sebesar itu tidak memiliki landasan hukum, tetapi Menteri Supratman mengatakan bahwa Prabowo berencana menjadikannya praktik tahunan. Karena itu, pemerintah sekarang sedang menyusun rancangan undang-undang untuk mengatur pemberian amnesti, grasi, rehabilitasi, dan abolisi.
Presiden Prabowo memang beda. Ia gunakan hak prerogatifnya sebagai presiden untuk alasan yang benar, alih-alih menggunakannya untuk tujuan politik.
Jokowi tidak memanfaatkan kewenangannya memberikan amnesti pada 2015, dengan memerintahkan eksekusi semua pengedar narkoba yang dijatuhi hukuman mati. Langkah itu merupakan bagian dari deklarasi populisnya tentang "perang terhadap narkoba". Susilo Bambang Yudhoyono membekukan semua eksekusi terpidana mati setelah menjabat pada 2004, tetapi melanjutkan lagi proses eksekusi sesaat sebelum pemilihannya kembali pada 2009. Ia sekali lagi mengizinkan eksekusi pada 2014, meski saat itu tidak lagi mencalonkan diri untuk jabatan publik.
Prabowo belum mengungkapkan pendiriannya tentang hukuman mati. Tetapi jika ia bersikap penuh belas kasihan seperti yang telah ditunjukkannya bulan lalu, Indonesia akan mengalami sebuah perjalanan menuju kewarasan yang menyenangkan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.