Pembatalan pameran karya seniman Yos Suprapto menandai kemunduran bagi kebebasan berekspresi di negara ini.
Penutupan mendadak pameran seni yang mengusung tema-tema yang berkaitan dengan mantan presiden Joko “Jokowi” Widodo, baru-baru ini, seharusnya membunyikan alarm di seluruh nusantara tentang kondisi kebebasan berekspresi di negara ini.
Pameran karya seniman asal Yogyakarta, Yos Suprapto, menjadi viral karena alasan yang tidak tepat. Pameran di Galeri Nasional tersebut justru terkenal setelah dibatalkan tepat pada hari pembukaannya, 19 Desember 2024.
Seniman itu mengatakan bahwa awalnya galeri meminta agar ia tidak mengikutsertakan lima lukisan “yang berkaitan dengan tokoh yang pernah sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia” dari pameran “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” tersebut.
Meskipun Yos sejatinya menolak permohonan yang diajukan beberapa jam sebelum pembukaan itu, ia akhirnya setuju untuk hanya memamerkan dua dari lima lukisan. Namun, galeri ternyata membatalkan pameran tanpa pemberitahuan, mengunci ruang pameran, dan mematikan lampu. Menurut laporan, galeri tetap tutup bahkan saat pengunjung mulai antre di luar.
Salah satu dari lima lukisan tersebut menggambarkan seorang petani yang sedang menyuap nasi kepada satu pria berbusana rapi macam pebisnis dengan latar belakang bayangan merah seekor anjing. Lukisan lainnya menggambarkan seorang pria dan wanita telanjang yang sedang berhubungan seks dikerubuti tikus di depan sebuah bangunan yang berbentuk seperti Istana Garuda di Ibu Kota Nusantara.
Galeri Nasional saat ini berada di bawah Kementerian Kebudayaan, salah satu kementerian baru yang dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto. Galeri tersebut sebelumnya berada di bawah lingkup Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, yang dipecah oleh Prabowo menjadi tiga kementerian dalam kabinetnya yang diperluas.
Lukisan-lukisan yang "bermasalah" tersebut telah dideskripsikan oleh kurator galeri Suwarno Wisetrotomo sebagai "terlalu vulgar dan hanya diisi kata-kata kotor, sehingga tidak memiliki nuansa yang dibutuhkan untuk menyampaikan perspektif seni secara kuat."
Pemberangusan ekspresi artistik oleh lembaga negara membuat merinding mereka yang telah hidup atau belajar dari rezim Orde Baru yang represif.
Jika pengelola galeri bermaksud menghalangi masyarakat melihat lukisan-lukisan tersebut, atau mencegah munculnya diskusi publik tentangnya, maka galeri tersebut telah gagal total.
Pengelola galeri memilih untuk kembali ke masa lalu, atau menolak untuk hidup di masa kini. Tetapi banyak hal telah berubah dalam tiga dekade terakhir.
Banyak netizen, termasuk tokoh-tokoh terkenal, yang segera mengkritik penutupan pameran tersebut di platform media sosial. Gambar-gambar lukisan Yos kini telah mendapat tempat permanen di ranah digital, setelah berulang kali diunggah, dan bahkan dijadikan meme oleh netizen.
Akhirnya, beberapa hari kemudian, Jokowi sendiri ikut berkomentar. Ia mengatakan kepada wartawan, di luar rumahnya di Surakarta, Jawa Tengah, bahwa ekspresi seni, termasuk aspirasi politik dalam bentuk lukisan, perlu dihormati. “Pameran [karya seni semacam itu], seharusnya tidak menjadi masalah, karena kita seharusnya menjadi negara demokrasi,” kata mantan presiden itu.
Tahun lalu memang dipenuhi banyak kejadian dan perkembangan, baik positif maupun negatif. Namun, insiden Galeri Nasional pada paruh kedua Desember menjadi salah satu dari sekian banyak catatan pahit yang bertahan hingga tahun baru.
Awal tahun lalu, RUU Penyiaran memicu kegaduhan publik atas pasal-pasal yang akan membatasi pekerjaan jurnalis. Setidaknya ada dua isu utama terkait kebebasan pers dalam rancangan undang-undang tersebut.
Yang pertama adalah tentang larangan kerja investigasi. Hal itu secara langsung dapat memblokir konten jurnalisme investigasi atau memberi ruang bagi otoritas untuk menerapkan sensor terhadap lembaga media. Yang kedua menyangkut kewenangan baru Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), bukan Dewan Pers, untuk menangani pengaduan, pelanggaran, dan perselisihan, termasuk yang terkait dengan jurnalisme investigasi.
Dalam dekade terakhir, kita telah menyaksikan adanya lebih banyak laporan tentang otoritas yang menindak perbedaan pendapat di seluruh negeri. Kita membiarkan penindasan dari aktor negara dan non-negara terus berlanjut. Kemajuan demokrasi kita perlu terus bergerak maju. Karena itu, kita perlu meninggalkan cara-cara yang sudah ketinggalan zaman.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.