Bagi mereka yang menghadiri pidato Sugiono, salah satu adegan mengesankan adalah ketika gambar Sukarno saat konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955 ditampilkan di panggung. Sukarno tampak bersama para pemimpin negara-negara di belahan bumi selatan seperti Perdana Menteri India saat itu, Jawaharlal Nehru, dan Presiden Mesir saat itu, Gamal Abdel Nasser.
Salah satu hal yang menarik dari pidato kebijakan luar negeri yang pertama kali dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Sugiono pada akhir pekan lalu adalah tampilan gambar presiden pertama Indonesia Sukarno. Gambar itu sangat menonjol sebagai latar belakang acara.
Bagi mereka yang menghadiri pidato tersebut, salah satu adegan paling mengesankan adalah ketika gambar Sukarno selama konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955 diproyeksikan di atas panggung. Sukarno tampil bersama para pemimpin negara-negara di belahan bumi selatan. Terlihat Perdana Menteri India saat itu, Jawaharlal Nehru, dan Presiden Mesir saat itu, Gamal Abdel Nasser. Sukarno adlaah pahlawan nasionalis bagi para politikus pascareformasi. Ia menjadi contoh nyata dari kebijakan luar negeri Indonesia yang kuat. Proyeksi citranya dalam pidato kebijakan luar negeri utama yang pertama kali disampaikan Sugiono tentu punya tujuan jelas.
Kini jelas, bahwa Presiden Prabowo Subianto ingin mengangkat profil Indonesia di panggung global, bermain di liga besar, dan jika perlu melampaui batas kemampuannya. Langkah itu makin jelas terutama setelah Indonesia resmi bergabung dengan kelompok BRICS, hanya dua hari sebelum pidato tahunan diselenggarakan.
Pidato Menteri Sugiono Jumat lalu menguraikan beberapa inisiatif utama yang menandai perubahan radikal, dari pendekatan transaksional yang dijalankan pendahulu Prabowo, Joko “Jokowi” Widodo.
Langkah terbesar tentu saja adalah keputusan untuk bergabung dengan BRICS. Blok tersebut merupakan kekuatan regional yang mencakup Rusia dan Tiongkok. Menurut Sugiono, langkah tersebut tidak menyimpang dari kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
Dalam pidatonya, Sugiono mengatakan bahwa kehadiran Indonesia dalam kelompok BRICS “dapat menjadi jembatan bagi negara-negara di wilayah yang sedang berkembang dan di Indo-Pasifik, serta sarana untuk mencegah ketegangan geopolitik dan geoekonomi.”
Menteri luar negeri juga menguraikan rencana untuk bergabung dalam upaya mereformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan lembaga keuangan internasional. Reformasi perlu dilakukan agar “sesuai dengan tujuannya” dan mencegah organisasi tersebut “didominasi oleh negara-negara kaya”.
Terkait perdagangan internasional, menteri menyampaikan keluhan lain atas praktik tidak adil dalam perdagangan internasional. Ia mengatakan bahwa Indonesia akan mendorong perdagangan yang lebih adil.
“Dalam diplomasi ekonomi, kita tidak bisa tinggal diam. Namun, kita harus menanggapi praktik dan kebijakan ekonomi apa pun yang tidak adil, termasuk [yang tidak adil] terhadap komoditas utama Indonesia. Untuk tujuan ini, kita akan mengejar arsitektur ekonomi global yang lebih inklusif dan adil, yang memastikan bahwa suara negara-negara berkembang didengar,” kata Sugiono.
Di bagian akhir pidatonya, Sugiono juga membuat janji untuk memperluas kemitraan pertahanan Indonesia yang ada. Indonesia akan meningkatkan penanganannya terhadap isu-isu strategis yang berdampak pada kedaulatan, termasuk keamanan maritim dan keselamatan jalur laut serta perikanan.
Sasaran lain, misalnya penyelesaian kode etik antara ASEAN dan Tiongkok di Laut China Selatan, serta prioritas sentralitas ASEAN, menjadi beberapa agenda yang akan dijalankan untuk satu atau dua tahun ke depan.
Dan dengan kemungkinan munculnya reaksi keras dari beberapa langkah yang diambil pada bulan-bulan pertama pemerintahan Prabowo, termasuk bergabung dengan BRICS dan mendekati Kremlin, beberapa tahun ke depan akan menjadi masa yang sibuk bagi Indonesia.
Kita harus memuji Presiden Prabowo karena mengambil langkah berani untuk terlibat lebih dalam di politik global.
Kita tentu dapat mengajukan pertanyaan logis tentang cara pemerintah akan mendanai upaya meningkatkan jumlah perangkat keras militer. Atau bertanya soal cara pemerintah melipatgandakan jumlah bantuan internasional, sementara prioritas domestik seperti program makan gratis butuh sumber daya pemerintah yang besar.
Lalu pertanyaan yang juga penting adalah tentang cara menteri luar negeri yang baru memobilisasi sumber daya dan menata ulang birokrasi yang lamban, terutama di lingkup Kementerian Luar Negeri, sehingga kementerian dapat melaksanakan rencana dan prioritas baru yang digagas pemerintahan saat ini.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.