TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Ke mana arah jurnalisme dan demokrasi?

Peran jurnalisme dalam menjaga masyarakat agar tetap mendapat info penting, sehingga setiap hari orang-orang dapat membuat keputusan tepat, telah dirusak. Atau setidaknya, peran itu telah dikompromikan.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Mon, February 10, 2025 Published on Feb. 9, 2025 Published on 2025-02-09T13:17:52+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Ke mana arah jurnalisme dan demokrasi? Power of information: National Nutrition Agency (BGN) head Dadan Hindayana (second right) and National Development Planning Minister Rachmat Pambudy (right) talk to journalists at a press briefing after a cabinet meeting about the free meals program with President Prabowo Subianto at the Presidential Palace complex in Jakarta on Jan. 17, 2025. (Antara/Aditya Pradana Putra)
Read in English

 

Dalam banyak hal, peringatan Hari Pers Nasional 9 Februari tahun ini, yang secara tidak biasa sepi-sepi saja, mencerminkan keadaan menyedihkan para jurnalis saat ini. Jurnalis menjadi sebuah profesi yang ditekan dari segala arah, yang pada akhirnya menimbulkan keraguan tentang klaim para jurnalis sendiri terkait keberadaan mereka yang sangat penting dalam demokrasi.

Peran jurnalisme dalam menjaga masyarakat agar tetap mendapat infor penting, sehingga setiap hari orang-orang dapat membuat keputusan yang tepat, telah dirusak. Atau paling tidak, peran itu telah dikompromikan.

Masyarakat terus-menerus dibombardir oleh banyak informasi, yang sebagian besar tidak terverifikasi. Ironi dari lanskap media digital saat ini adalah bahwa akses yang lebih luas dalam mendapatkan berita, yang disuguhkan oleh teknologi informasi, tidak serta merta menjadikan seseorang lebih melek informasi, atau lebih bijaksana.  

Jurnalis, yang tugasnya adalah memverifikasi informasi sebelum sampai ke masyarakat, tidak lagi menjadi satu-satunya penyampai berita di lanskap media saat ini. Mereka telah menjadi minoritas kecil, karena siapa pun yang punya akses internet, dan semua orang punya hal itu, memiliki kekuatan untuk memengaruhi orang dengan menyebarkan informasi. Informasi yang disebarkan bisa benar, bisa juga salah.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Maraknya misinformasi dan disinformasi telah mengubah lanskap politik secara dramatis di seluruh dunia. Kemunduran yang terlihat di setiap sistem pemerintahan demokrasi, sebagian disebabkan oleh ketidakmampuan para jurnalis untuk memenuhi peran mereka sebagai pilar keempat demokrasi.

Para jurnalis tersebut tidak hanya kehilangan tempat dalam persaingan ketat dalam upaya mendapatkan perhatian di lanskap media, tetapi mereka juga gagal dalam peran mereka untuk meminta pertanggungjawaban lembaga-lembaga politik yang kuat. Lembaga-lembaga itu termasuk cabang eksekutif dan legislatif pemerintah, lembaga yudikatif, juga bisnis besar serta oligarki yang perkasa.

Outlet media berita menemukan bahwa mereka tidak lagi punya kekuatan untuk menetapkan agenda nasional. Dalam industri yang semakin ditentukan oleh kecepatan dan bukan oleh akurasi, hampir semua orang dapat menentukan topik yang jadi viral di atmosfer berita digital. Jurnalisme, yang merupakan bidang yang menerapkan disiplin verifikasi, menjadi kalah cepat ketika harus menjalankan tugasnya. Akhirnya, para jurnalis gagal mengimbangi kepesatan media digital. 

Banyak media berita gagal melakukan transisi dari platform cetak dan penyiaran ke lanskap digital. Mereka yang telah berpindah atau menambah platform terpaksa menyusut karena tidak adanya model bisnis yang efektif untuk membiayai keberlangsungan ruang redaksi yang ongkosnya mahal. Setiap tahun, terutama sejak pandemi COVID-19, kita mendengar berita tentang media yang akhirnya tutup. Dari media kecil hingga media besar. 

Saat melakukan transisi, industri media berita mengalami krisis identitas. Sebutan apa yang layak disematkan pada mereka? Media massa? Sungguh menggelikan. Media mapan? Tentu tidak sesuai ketika medianya secara finansial tidak stabil. Media tradisional? Terdengar terlalu kuno. Media warisan? Yang benar saja.

Yang lebih serius daripada matinya media adalah hilangnya layanan dari mereka yang telah mengabdikan diri pada tugas mulia jurnalis. Mereka memastikan bahwa masyarakat mendapat informasi yang cukup demi membuat keputusan yang tepat. Ribuan jurnalis telah diberhentikan dan ribuan lainnya telah meninggalkan profesi yang mereka anggap tidak lagi menjanjikan.

Ketika sekolah komunikasi di sebuah universitas negeri terkemuka di Indonesia menutup program studi jurnalistik karena tidak ada mahasiswa yang tertarik mendaftar, kita tahu bahwa profesi jurnalis sedang dibelit masalah serius. Sangat sulit menemukan jurnalis-jurnalis baru. 

Ini adalah berita buruk bagi demokrasi Indonesia yang sudah mulai terpuruk. Demokrasi tidak dapat berjalan tanpa dukungan jurnalis independen, yaitu jurnalis yang terus memberikan informasi kritis kepada masyarakat tentang dunia yang mereka huni. Kita menyaksikan banyak negara demokrasi, termasuk yang paling mapan, bergeser ke arah otoriterisme karena hasil kerja jurnalis mereka tak sesuai harapan.

Pada Hari Pers Nasional, mereka yang teguh pendirian dan tetap percaya pada jurnalisme harus menegaskan kembali komitmen mereka untuk melindungi profesi jurnalis

Kita sudah melihat banyak inovasi dari para pemikir kreatif, dari perusahaan rintisan, juga dari media "lama". Mereka berupaya melalukan reka ulang terhadap konsep jurnalistik agar sesuai dengan lanskap informasi saat ini. Namun, diperlukan banyak sekali perubahan sebelum tujuan akhir, yaitu mengubah kondisi sekarang, bisa terwujud. 

Industri media, dan profesi jurnalis yang didukungnya, mungkin terlalu pelan beradaptasi dengan tantangan digital, tetapi tidak ada kata terlambat.

Kelangsungan hidup demokrasi kita sangat bergantung pada kelangsungan hidup jurnalisme.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.