Setiap ide hebat pasti berawal dari percikan bara dalam pikiran seseorang. Di bawah tekanan, gejolak pemikiran merupakan ekspresi seseorang yang menunjukkan daya tahannya saat berupaya keluar dari situasi yang kurang menguntungkan.
Bagi Raden Ajeng Kartini, seorang perempuan darah biru keturunan Jawa yang hidup pada abad ke-19, bertunangan untuk menjalani pernikahan berkonsep poligami dengan seorang bangsawan kaya, adalah nasib yang mengerikan. Jalan hidup Kartini nyaris sama seperti kebanyakan wanita seusianya saat itu.
Sebagai bentuk perlawanan, ia menulis surat kepada teman-temannya, warga Belanda, untuk mengungkapkan pandangannya tentang kolonialisme, budaya Jawa, dan emansipasi perempuan. Lebih dari satu abad kemudian, ide-ide modernnya tentang perempuan, pendidikan, dan kesetaraan gender telah menjadi bagian dari warisan dunia.
The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), organisasi PBB yang mengurus pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, telah mendaftarkan ratusan surat tulisan tangan Kartini dalam program Memory of the World, atau Warisan Ingatan Dunia. Program ini merupakan pengarsipan global untuk dokumen-dokumen sejarah yang sangat penting, agar tetap bisa dipelajari oleh generasi mendatang.
Mengenang Kartini, yang lahir hari ini, 21 April, adalah mengenang keberanian seorang perempuan yang punya pikiran melampaui zamannya. Melalui keterbatasan dan larangan demi menuruti adat istiadat, ia berusaha keras mewujudkan cita-cita hidupnya. Sayang, ia tidak pernah punya kesempatan menjalani hidup yang ia inginkan.
Bertahun-tahun hidup sendiri, menjalani tradisi pingitan, sambil menunggu perjodohan, ia tidak berdaya. Menulis adalah satu-satunya panggilan hidupnya. Yang ia miliki hanyalah pendidikan Eropa yang ia peroleh di sekolah setempat, sebelum dipingit. Ia juga punya beberapa teman yang ia kenal semasa bersekolah.
Kartini, yang meninggal di usia 25 tahun setelah melahirkan anak pertamanya, mungkin tidak pernah menyangka bahwa ide-idenya akan tersebar, menggema ke seluruh dunia.
Koleksi surat-suratnya, yang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Arsip Nasional Den Haag, dan Arsip Nasional Indonesia, menjadi bukti bahwa ide-ide besar, tidak peduli seberapa tertutup dan tersembunyi, pada akhirnya dapat muncul ke permukaan. Dan apa yang ia bayangkan dalam surat-suratnya, misalnya kerinduan akan kebebasan dan kemerdekaan untuk menentukan nasib secara mandiri sebagai perempuan, telah menjadi kenyataan bagi sebagian besar perempuan Indonesia di masa sekarang.
Semangat feminismenya telah membuahkan didirikannya sekolah-sekolah untuk para perempuan muda, yang disebut Sekolah Kartini. Hal itu juga telah mengilhami gerakan perempuan di negeri ini.
Mengikuti jejaknya, organisasi-organisasi perempuan telah muncul bertahun-tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 1945. Pada 22 Desember 1928, Kongres Perempuan Indonesia yang pertama diadakan di Yogyakarta. Pertemuan tersebut terselenggara tidak lama setelah kongres pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Dalam Sumpah Pemuda, organisasi-organisasi pemuda dari semua latar belakang berjanji untuk mengakui hanya satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia.
Kongres organisasi-organisasi perempuan yang dilakukan setelah Sumpah Pemuda bertujuan, utamanya, untuk memberikan pendidikan kepada semua gadis muda, seperti yang telah diperjuangkan Kartini sepanjang hidupnya. Pertemuan tersebut, yang dilaporkan dihadiri oleh 1.000 orang, juga mendorong diakhirinya pernikahan dini dan disusunnya skema kesejahteraan bagi para janda dan anak-anak.
Sebagian besar hal yang diperjuangkan saat itu masih harus terus diperjuangkan hingga saat ini, karena emansipasi perempuan beberapa kali kalah dalam “pertempuran”. Pernikahan dini dan poligami masih marak. Di sisi lain, kekerasan terhadap perempuan masih sering terjadi.
Selama empat tahun terakhir, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah mencatat ratusan kasus femisida, atau pembunuhan terhadap perempuan yang didasari alasan karena korban adalah perempuan. Total, terdapat 290 kasus tahun lalu.
Dengan meningkatnya konservatisme global, perjuangan bagi perempuan tidak akan jadi lebih mudah. Amerika Serikat, di bawah Presiden Donald Trump, telah memimpin kemunduran terkait hak reproduksi perempuan, dengan membatasi praktik aborsi dan akses ke kontrasepsi. Dengan ditutupnya badan pembangunan internasional AS USAID, program-program untuk mendukung hak-hak perempuan dan kesetaraan gender di seluruh dunia telah dihentikan.
Di Indonesia, kita telah melihat lebih banyak pemimpin perempuan dalam politik dan pemerintahan. Bisa saja hal itu bertentangan dengan tren global. Namun, mengingat budaya konservatif yang kuat, sekadar punya lebih banyak pemimpin perempuan di semua bidang mungkin jadi tidak cukup
Yang lebih penting adalah agar para pemimpin perempuan punya pemikiran yang revolusioner, seperti Kartini. Seharusnya, mereka tidak hanya memikirkan perubahan, tetapi berusaha dengan segala cara yang mereka bisa untuk mendorong kemajuan masyarakat, terutama demi kesejahteraan perempuan yang lebih baik.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.