Indonesia dapat mendorong Tiongkok untuk berhenti menunda-nunda penyelesaian negosiasi Kode Etik di Laut China Selatan. Selama lebih dari dua dekade, hal itu telah diperjuangkan ASEAN agar dilakukan oleh Beijing.
Indonesia yang berprinsip nonblok telah mengarungi kompleksitas persaingan antarnegara adidaya, dengan menjalin hubungan ekonomi yang lebih erat dengan Tiongkok, sambil tetap membangun hubungan yang lebih intensif di bidang keamanan dan pertahanan dengan Amerika Serikat. Tetapi, bagaimana pun, lanskap geopolitik terus berubah. Indonesia harus selalu beradaptasi untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan nasionalnya.
Pertemuan “2+2” perdana yang melibatkan menteri luar negeri dan menteri pertahanan Indonesia dan Tiongkok di Beijing, pekan lalu, diselenggarakan di saat yang tepat. Kedua negara telah menandatangani kemitraan strategis komprehensif pada 2013, tetapi tanpa komponen keamanan yang kuat, hubungan dengan Tiongkok ini tidak akan sepenuhnya komprehensif dan juga tidak akan strategis.
Yang penting, ini adalah pertemuan 2+2 yang pertama bagi Tiongkok dengan negara Asia. Sementara Indonesia sendiri telah menyelenggarakan forum serupa dengan negara-negara seperti Australia, Jepang, dan AS.
Selama bertahun-tahun, Tiongkok telah menjadi mitra dagang dan mitra ekonomi utama Indonesia. Ini adalah perkembangan yang tak terelakkan, mengingat pesatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok dalam dua dekade terakhir hingga menjadi negara ekonomi terbesar di dunia. Namun, kami juga mendeteksi sikap yang lebih tegas, jika bukan hegemonik, dalam kebijakan luar negeri Beijing yang memicu kekhawatiran beberapa kalangan.
Sikap itulah yang semakin menegaskan alasan mengapa kedua negara harus membahas isu-isu yang lebih luas di luar bidang ekonomi, termasuk dalam sektor keamanan dan pertahanan. Tentu agar hubungan ini saling menguntungkan dan berkelanjutan. Ketika negara-negara Asia nomor satu dan tiga terbesar itu terlibat dalam langkah-langkah membangun rasa saling percaya, seluruh kawasan akan dapat mengambil manfaat dari perdamaian dan stabilitas yang mereka upayakan terjamin.
Pertemuan rutin dengan menteri luar negeri dan menteri pertahanan Tiongkok memungkinkan kedua negara berdiskusi secara terbuka tentang tantangan yang mereka hadapi. Saat ini, ada isu-isu global seperti perang dagang dan perang tarif, serta konflik di Myanmar, Ukraina, dan Gaza. Semua mengharuskan kolaborasi antara dua negara. Selain itu, ada juga isu-isu bilateral yang perlu ditangani.
Satu masalah keamanan mendesak yang perlu dibahas para menteri adalah meningkatnya ketegangan atas sengketa teritorial di Laut China Selatan. Masalah tersebut mengadu domba China dengan beberapa negara Asia Tenggara, sekaligus juga menyeret AS dan negara-negara besar lainnya ke wilayah itu.
Indonesia bisa saja bersikeras bahwa tidak ada sengketa teritorial dengan China di Laut Natuna, sekaligus menolak klaim Beijing yang menyebut perairan wilayah itu sebagai lokasi penangkapan ikan tradisional mereka, karena tidak ada landasan undang-undang yang sesuai hukum internasional. Namun, kenyataannya, sering terjadi pertikaian antara kapal penangkap ikan Tiongkok, yang dikawal kapal Penjaga Pantai Tiongkok, dengan kapal Angkatan Laut Indonesia yang berpatroli di wilayah tersebut.
Kedua negara harus berhenti menyembunyikan masalah ini dan bersikap seolah tidak ada apa-apa. Dalam perundingan tertutup, para menteri dapat mencoba mendamaikan perbedaan pendapat terkait hal ini. Bahkan, para menteri dapat mengambil gagasan kerja sama ekonomi dalam mengelola wilayah yang disengketakan. Hal itu telah diusulkan dalam pernyataan bersama antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping November lalu.
Indonesia juga harus menggunakan forum pertemuan 2+2 ini untuk mendorong Tiongkok agar berhenti menunda-nunda menyelesaikan negosiasi soal Kode Etik di Laut China Selatan. Jakarta, melalui ASEAN, selama lebih dari dua dekade ini telah mendorong Beijing agar melakukannya. Ketika ditandatangani, semua negara berkomitmen untuk menyelesaikan sengketa teritorial mereka secara damai tanpa menggunakan kekerasan.
Para menteri juga harus menjajaki cara-cara untuk meningkatkan kerja sama keamanan, sebagai bagian dari langkah-langkah membangun rasa saling percaya, untuk menghilangkan kecurigaan apa pun yang mungkin dirasakan Indonesia, terkait keinginan Beijing di kawasan tersebut. Hal itu mencakup apa yang disebut sebagai klaim maritim "sembilan garis putus-putus" yang meliputi seluruh Laut China Selatan. Beberapa kecurigaan juga didasarkan pada sejarah intervensi Partai Komunis Tiongkok yang terdokumentasi dengan baik dalam politik Indonesia pada 1960-an.
Saat ini, Indonesia punya lebih banyak kerja sama di sektor keamanan dengan AS. Latihan militer gabungan yang dilakukan tiap tahun, Garuda Shield, juga semakin berkembang. Dan China tidak dilibatkan. Indonesia juga masih mendapat pasokan sebagian besar senjata yang dibutuhkannya dari AS.
Mungkin perlu beberapa tahun lagi sebelum Indonesia merasakan kenyamanan yang sama seperti yang dirasakan dalam berhubungan dengan AS, saat menjalin hubungan keamanan dan militer yang lebih erat dengan China. Bagaimana pun, pertemuan 2+2 merupakan awal yang baik untuk menjajaki kenyamanan itu. Persaingan kekuatan besar yang makin ketat antara Tiongkok dan AS justru mengharuskan Indonesia bersikap lebih tegas, dan bukannya bersikap sebaliknya, dalam menegakkan prinsip-prinsip nonblok yang tidak berpihak.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.