TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Hari Buruh yang menjemukan 

Saat ini, sebagian besar pekerja lebih peduli untuk mempertahankan pekerjaan mereka dan bukannya menuntut kenaikan gaji yang besar, bahkan jika upah itu sangat minim hingga mereka harus bertahan hidup sampai tanggal gajian berikutnya. 

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Sat, May 3, 2025 Published on May. 2, 2025 Published on 2025-05-02T17:16:20+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Hari Buruh yang menjemukan Workers wave to the camera on Feb. 28 as they leave a factory of textile giant PT Sri Rejeki Isman (Sritex) in Sukoharjo, Central Java. Sritex ceased operations on March 1 after being declared insolvent by the Semarang Commercial Court. (Antara/Mohammad Ayudha)
Read in English

 

Bagi banyak orang, tidak banyak yang bisa dirayakan pada Hari Buruh tahun ini.

Suasana muram umum terasa di antara karyawan, di pabrik dan kantor di seluruh negeri. Pikiran pekerja dipenuhi kekhawatiran tentang PHK massal, kurangnya daya saing, dan percepatan otomatisasi.

Baru-baru ini, tak hentinya muncul serangkaian berita tentang penutupan pabrik. Mulai dari raksasa tekstil Sritex dan pembuat sepatu untuk merek global, hingga produsen piano Yamaha dan pembuat peralatan listrik Sanken, semua menutup pabriknya di Indonesia. Berita-berita itu menggerogoti rasa percaya diri pekerja, dan meningkatkan kekhawatiran terkait keamanan finansial keluarga mereka.

Pemerintah, sesuai kebiasaan pemerintahan sekarang, telah membentuk gugus tugas untuk mengatasi PHK dan masalah ketenagakerjaan lainnya. Tetapi pekerja tetap khawatir apakah gugus tugas tersebut akan mengatasi akar masalahnya atau tidak.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Satuan tugas untuk mengatasi PHK diumumkan Presiden pada Kamis 1 Mei, saat ia berpidato di hadapan ratusan ribu pekerja yang berunjuk rasa memperingati Hari Buruh, di Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat.

Satuan tugas tersebut akan mencegah pemecatan sewenang-wenang dan memastikan bahwa perusahaan mematuhi praktik ketenagakerjaan yang adil. Tugas tersebut, pada hari yang sama, mendorong kelompok bisnis menyatakan kekhawatiran bahwa pengusaha dapat dikriminalisasi karena keputusan manajemen. 

Satuan tugas semacam itu mungkin dapat mencegah PHK di sana-sini, tetapi di sisi lain juga dapat mencegah perusahaan mempekerjakan karyawan lebih dari jumlah minimum. Alasannya, ada kecemasan bahwa perusahaan harus mengurangi jumlah karyawan lagi, jika diperlukan.

Mungkin ini adalah salah satu masalah yang tidak ada solusinya, setidaknya tidak di tingkat nasional. Bagaimana pun, pertumbuhan ekonomi yang solid tidak menjamin pertumbuhan lapangan kerja yang solid.

Kita tentu harus mendorong lebih banyak investasi, baik dari dalam maupun luar negeri, demi memacu kegiatan ekonomi. Tetapi hal itu mungkin masih belum memadai untuk menciptakan cukup lapangan kerja.

Investor baru yang mungkin tertarik untuk mengambil alih aset perusahaan tekstil yang bangkrut, misalnya, akan membawa teknologi baru. Dengan begitu, ia dapat mencetak hasil dengan jumlah yang sama, atau bahkan lebih banyak, menggunakan tenaga kerja yang jumlahnya jauh lebih sedikit.

Pabrik-pabrik yang disebut sebagai “pabrik-pabrik yang dipadamkan” di Tiongkok menunjukkan kepada kita cara bermain di liga teratas produksi massal global. Kita dapat mengembalikan jumlah produksi, tetapi pekerjaan menjadi hilang.

Hal yang sama berlaku untuk sektor-sektor lain. Keuntungan efisiensi yang besar menunggu untuk diwujudkan dalam industri pertanian dan perikanan kita.

Dengan melakukan reformasi struktural dan memanfaatkan teknologi, kita dapat membuat produk yang lebih kompetitif untuk meningkatkan ekspor kita, atau produk pengganti barang impor. Tetapi, reformasi dan pemanfaatan teknologi mengorbankan sebagian besar tenaga kerja yang saat ini bekerja di sektor-sektor tersebut.

Di antara dua pilihan kebijakan, antara hilangnya lapangan kerja di industri yang tidak kompetitif atau membuat industri menjadi kompetitif dengan memangkas pekerjaan, tidak ada yang menguntungkan bagi pekerja. 

Dengan kondisi demikian, tidak mengherankan jika suasana suram mewarnai hati para pekerja.

Sekitar satu dekade yang lalu, serikat pekerja yang berani dan merasa punya daya tawar tinggi akan menuntut kenaikan upah minimum sebesar 20 persen atau lebih. Pada 2025 ini, mereka menerima kenaikan gaji sebesar 6,5 persen tanpa banyak mengeluh.

Berikut ini adalah paragraf utama dari artikel yang diterbitkan oleh surat kabar ini 11 tahun lalu: “Ribuan pekerja menuntut agar upah minimum dinaikkan 30 persen mulai tahun depan. Selama demonstrasi Hari Buruh pada Kamis, para pekerja menyampaikan daftar 'Sepuluh Tuntutan Publik', di antaranya kenaikan gaji.”

Hari ini, sebagian besar pekerja, baik yang tergabung dalam serikat pekerja atau tidak, yang di pabrik atau kantor, atau di kantor kementerian pemerintah, lebih peduli untuk mempertahankan pekerjaan mereka ketimbang menuntut kenaikan gaji yang besar. Bahkan jika yang mereka terima sekadar untuk bertahan hidup sampai tanggal gajian berikutnya. 

Alih-alih bergabung dalam demonstrasi dan mengepalkan tinju dan angkat tangan tinggi-tinggi, mereka tetap berada di tempat kerja tak ingin terlibat dalam demonstrasi. 

Di titik tertentu, kondisi sama telah menjadi tema yang terjadi di seluruh dunia, pada saat terjadi kemerosotan ekonomi.

Namun, ada perasaan yang meluas bahwa pesatnya laju kemajuan teknologi saat ini, dengan otomatisasi yang diperkuat kecerdasan buatan, yang jadi masalah bukan hanya menunggu munculnya pekerjaan baru di industri baru.

Ketika mesin yang satu memproduksi mesin lain dan program yang satu membuat program yang lain, ada ketakutan mengemuka terkait betapa tak bergunanya para pekerja. Dalam konteks itu, satu hal mungkin menjadi lebih relevan dari sebelumnya: Pekerja di seluruh dunia, bersatulah!

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.