TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Tarif siluman 

Negara-negara lain telah menangani pemerasan menggunakan kombinasi antara hukum penyitaan aset yang sudah ditargetkan, program perlindungan saksi, insentif bagi pelapor, dan koordinasi lintas lembaga.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Thu, May 15, 2025 Published on May. 14, 2025 Published on 2025-05-14T17:02:18+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Tarif siluman Police officers stand at formation during a roll call on May 9 in preparation for a two-week operation to curb thuggery and street brawls across Jakarta that will last until May 23. (Antara/Fauzan)
Read in English

 

Ambisi Indonesia untuk menarik investasi kelas dunia secara diam-diam sedang disabotase.  Biang keladinya bukan suku bunga atau ancaman tarif perdagangan Amerika Serikat. Sabotase terjadi akibat ancaman yang sudah sangat akrab, yaitu premanisme dan pemerasan.

Dari pemerasan di jalanan hingga kontrol mafia yang mengakar atas jasa parkir, biaya angkutan barang, dan pasar makanan, tindak kriminal pemalakan terus menguras kepercayaan pelaku bisnis. Perilaku itu juga menambah biaya produksi serta merusak aturan hukum yang sangat diandalkan oleh investor.

Insiden viral minggu ini terkait "elemen jahat" di internal Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Oknum tersebut menuntut bagian uang dari proyek milik negara senilai triliunan rupiah. Hal itu jadi pengingat yang jelas bahwa pemerasan tidak sebatas yang terjadi di lorong-lorong gelap dan bukan hanya transaksi tersembunyi.

Tanpa sadar, Ketua Kadin Anindya Bakrie mengakui bahwa lembaga yang terhormat pun rentan dikooptasi oleh oknum yang menyalahgunakan akses. Para oknum ini memengaruhi proses pengadaan, memeras pengusaha, dan mengambil "biaya" untuk izin yang seharusnya gratis. Kadin cabang Cilegon awalnya menepis tuduhan tersebut sebagai "salah ucap", tetapi semua sudah telanjur. 

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Terlepas dari apakah tuduhan tersebut benar atau tidak, sentimen di antara pemilik bisnis dan investor sudah jelas. Indonesia menanggung biaya tinggi karena ada tarif siluman. Ada sistem cari untung yang tidak resmi tetapi sudah sangat mengakar. Ongkos tak jelas ini berkembang pesat di wilayah yang tidak konsisten terkait penegakan hukum, tata kelola daerahnya terfragmentasi, dan ada kekuatan politik yang melindungi impunitas.

Presiden Prabowo Subianto, bagusnya, telah menjauhkan diri dari kelompok paramiliter yang membuatnya kalah dalam pemilihan sebelumnya. Ia bahkan memerintahkan pihak berwenang untuk menindak premanisme, dan berujung adanya ribuan kasus pungutan liar dan taktik intimidasi yang dilaporkan telah ditangani. Namun, membongkar ekosistem pemalakan butuh lebih dari sekadar pengawasan. Dibutuhkan respons struktural yang menyasar insentif di balik kejahatan, akses ke titik-titik rawan ekonomi, pengawasan yang lemah atas izin-izin yang dikeluarkan di daerah setempat, dan budaya tutup mulut di kalangan pelaku bisnis.

Wacana publik dan semakin banyaknya komentar akademis tentang masalah ini menggarisbawahi betapa mengakarnya operasi ala preman dalam budaya lokal Indonesia. Sejarawan JJ Rizal menarik persamaan antara cara orang-orang kuat lokal menawarkan "perlindungan" sebagai imbalan atas upeti. Hal itu sudah ada sejak lama dalam sejarah kolonial bangsa ini. Sementara para analis geopolitik menunjukkan bahwa cara kekuatan global saat ini yang modusnya sangat mirip, yaitu menggunakan alat-alat ekonomi seperti tarif.

Sama seperti perang tarif AS dengan Tiongkok, dan negara-negara lain yang punya surplus perdagangan, yang telah digambarkan sebagai pemerasan modern, demikian pula ekonomi pemerasan Indonesia merupakan bentuk proteksionisme domestik. Pemerasan memaksa pelaku bisnis lokal dan investor yang tidak banyak cingcong untuk "membayar agar bisa bermain" atau pay to play.

Hasil akhirnya mengerikan. Usaha kecil dan menengah (UKM), khususnya yang bergerak di bidang logistik, konstruksi, dan pasar informal, sering kali terjebak dalam kondisi antara memenuhi tuntutan pemerasan atau terpaksa menghadapi pelecehan dan gangguan.

Sementara itu, investor asing bertanya-tanya apakah iklim investasi Indonesia seaman yang ditunjukkan oleh indikator ekonomi makro negeri ini. Dalam jangka panjang, ketakutan ini menghalangi inovasi dan menghambat pertumbuhan yang inklusif.

Solusinya bukan lagi misteri. Negara-negara lain telah menangani pemerasan melalui kombinasi hukum penyitaan aset yang sudah dibidik, perlindungan saksi, insentif bagi pelapor, dan koordinasi lintas lembaga.

Jakarta telah menunjukkan bahwa hal ini mungkin dilakukan, dengan menindak keras sindikat parkir ilegal. Sekarang, yang dibutuhkan adalah kemauan politik untuk menerapkan langkah-langkah ini secara nasional dan disiplin kelembagaan untuk melindungi penegakan hukum dan administrasi publik dari campur tangan oknum. Sama seperti tarif yang mendistorsi perdagangan global dengan menaikkan biaya secara sewenang-wenang dan mengganggu pasar, premanisme dan perburuan rente juga melakukan hal yang sama di dalam negeri. Dalam kedua kasus tersebut, yang kalah adalah bisnis yang jujur ​​dan masyarakat yang lebih luas.

Jika Indonesia serius ingin bergabung dengan jajaran negara-negara berpendapatan tinggi, negara ini harus menghapuskan pajak tersembunyi yang membayangi ambisi ini. Transparansi, supremasi hukum, dan kebijakan tanpa toleransi terhadap pengaruh kriminal bukan suatu iklim bisnis yang luar biasa, melainkan prasyarat demi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Ujian terhadap reformasi tidak terletak pada proses penyusunan undang-undang yang berpihak pada bisnis atau penyelenggaraan pertemuan internasional, tetapi lebih pada memastikan bahwa toko kelontong di Medan, pabrik di Surakarta, atau operator pelabuhan di Makassar dapat menjalankan bisnis mereka tanpa diliputi ketakutan. 

Sebelum kondisi nyaman itu tercapai, Indonesia akan tetap terbebani oleh tarif yang jauh lebih merusak jika dibandingkan dengan apa pun yang dikenakan oleh pihak asing. 

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.