Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsPerilaku suporter sepak bola Indonesia jadi penghalang perwujudan cita-cita bangsa menyaksikan Indonesia sebagai negara sepak bola yang hebat.
Tampaknya dunia sepak bola Indonesia, baik tingkat lokal maupun internasional, ditakdirkan untuk terus menghadirkan berita buruk tanpa henti.
Berita buruk terbaru datang dari FIFA. Badan sepak bola dunia tersebut mengeluarkan sanksi terhadap Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI), setelah menemukan bahwa sekelompok suporter Indonesia membuat nyanyian xenofobia selama pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2026 antara Indonesia dan Bahrain.
Tidak jelas apa yang dinyanyikan para suporter itu, tetapi nyanyian mereka menyebabkan PSSI dikenai denda Rp 400 juta (24.205 dolar Amerika). Diberlakukan juga pengurangan penonton sebesar 15 persen untuk pertandingan kualifikasi berikutnya, saat Indonesia melawan Tiongkok di Jakarta.
FIFA juga meminta asosiasi sepak bola Indonesia untuk memasang spanduk antidiskriminasi selama pertandingan melawan Tiongkok. Selain itu, asosiasi juga diminta mengembangkan rencana komprehensif untuk memerangi diskriminasi dalam sepak bola Indonesia.
Berita ini mengecewakan. Pasalnya, jutaan penggemar sepak bola Indonesia tidak bisa duduk tenang di kursi mereka. Semua menunggu peluang negara ini untuk memulai debutnya di kompetisi sepak bola papan atas dunia, pada Piala Dunia tahun depan di Amerika Utara.
Namun sanksi tersebut tidaklah mengejutkan. Lihat saja perilaku penggemar sepak bola Indonesia yang sering jadi berita utama di dalam negeri, atau bahkan di tempat lain di dunia.
Sanksi FIFA atas nyanyian xenofobia terhadap warga Bahrain terjadi satu tahun setelah pengguna media sosial Indonesia banyak dilaporkan, gara-gara membuat komentar rasis secara daring terhadap pemain tim putra U-23 Guinea.
Komentar-komentar tersebut dilontarkan setelah tim Afrika mengalahkan tim Indonesia. Kekalahan itu mengakhiri angan Indonesia untuk bermain sepak bola di Olimpiade untuk yang pertama kalinya. Impian yang sudah disusun dalam hampir tujuh dekade.
Kita juga tidak boleh lupa pada bencana Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, Oktober 2022 lalu. Tragedi itu menelan lebih dari 130 korban jiwa, yang dipicu oleh aksi kekerasan suporter klub sepak bola Arema FC. Insiden diperparah oleh tindakan aparat kepolisian yang asal tembak dan minimnya pengamanan dari pengelola stadion.
Suporter tampaknya tidak belajar banyak dari aksi unjuk rasa 2022. Ketika Arema kembali ke Kanjuruhan untuk pertandingan liga pertama mereka pada 11 Mei setelah hampir tiga tahun, sekelompok orang yang diduga suporter mereka melemparkan batu dan merusak bus yang digunakan Persik Kediri, lawan klub tersebut malam itu.
Cuplikan perilaku suporter sepak bola Indonesia ini memalukan. Polah itu menjadi penghalang bagi cita-cita bangsa untuk melihat Indonesia menjadi negara sepak bola yang hebat. Untuk bisa berdiri di antara raksasa sepak bola seperti Brasil, Argentina, Spanyol, dan Inggris, Indonesia harus bekerja keras. Bukan hanya para pemainnya yang harus berusaha di lapangan, tetapi juga para suporternya di luar lapangan.
Salah satu praktik terbaik di Eropa yang dapat dicoba di Indonesia adalah meningkatkan pengawasan terhadap tindakan suporter di sekitar pertandingan. Harus ada sanksi berat bagi mereka yang kedapatan melanggar hukum. Hukuman dapat berupa larangan menghadiri pertandingan seumur hidup, hingga denda besar terhadap klub. Asumsinya, tidak ada suporter yang ingin melihat klub mereka menderita akibat tindakan mereka.
Lebih jauh, PSSI juga dapat bekerja sama dengan lembaga penegak hukum untuk memberikan tuntutan pidana terhadap suporter yang menggunakan ujaran kebencian terhadap pemain atau ofisial. Indonesia tidak kekurangan undang-undang yang dapat menghukum individu yang kedapatan menggunakan ujaran kebencian terhadap ras, suku, atau kelompok tertentu di muka umum.
Selain tindakan formal, asosiasi juga dapat bekerja sama dengan pemain dan tokoh berpengaruh lainnya untuk menghimbau suporter agar berhenti menggunakan ujaran kebencian, serta tidak melakukan tindakan kekerasan selama pertandingan. Para supporter sendiri juga dapat saling bekerja sama untuk memperingatkan rekannya, dan mencegah mereka membuat komentar yang tidak diinginkan. Ini memang kecil sekali kemungkinan terjadinya, karena suporter dapat terperangkap dalam suasana panas.
Manajemen suporter adalah sesuatu yang perlu ditangani oleh PSSI, serta pemangku kepentingan lain di sepak bola Indonesia saat ini. Bagaimana pun, negara ini sedang bermimpi untuk berdiri tegak di panggung internasional.
Tanpa itu semua, para pemain naturalisasi dan atlet lokal kita hanya bisa menundukkan kepala karena malu, mengetahui Indonesia dikenal sebagai negara yang kasar dan brutal di dunia sepak bola.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.