Bayangan Soeharto dari masa lalu kini tampak hadir kembali, mengancam supremasi sipil yang penegakannya telah kita perjuangkan dengan keras.
Hari ini menandai peringatan 27 tahun satu momen penting dalam sejarah Indonesia. Pada 21 Mei 1998, bangsa kita menunjukkan kekuatan kolektifnya dengan memaksa Soeharto mengakhiri kekuasaannya otoriter selama 32 tahun.
Pencapaian penting ini, yang dicatat oleh The Jakarta Post dalam tajuk utama yang mengesankan di ingatan: “I QUIT”, atau “Saya Berhenti”, membuka jalan bagi Indonesia untuk menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, dalam waktu kurang dari satu dekade. Namun, bayang-bayang Soeharto dari masa lalu kini tampak hadir kembali, mengancam supremasi sipil yang penegakannya telah kita perjuangkan dengan keras.
Hanya satu tahun setelah kejatuhan Soeharto, Indonesia mengejutkan dunia dengan pemilihan umum demokratis pertamanya. Pemilu diselenggarakan secara bebas dan damai. Komitmen terhadap demokrasi ini semakin kuat pada 2004, dengan diadopsinya pemilihan presiden secara langsung. Setahun kemudian, dilaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung juga.
Indonesia menjadi contoh yang luar biasa, bahkan mungkin satu-satunya, negara yang mayoritas penduduk muslimnya secara konsisten membuktikan kesesuaian antara ajaran Islam dengan sistem demokrasi yang paling canggih sekalipun. Di banyak negara Islam lainnya, demokrasi masih rapuh, atau justru ditekan, atas nama agama.
Indonesia kini menghadapi bahaya berbaliknya lagi kondisi menjadi seperti sebelum adanya demokrasi. Pada 1998, militer secara umum dipandang sebagai penyebab utama ketidakstabilan politik dan ekonomi. Kini, semakin banyak warga sipil menganggap Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai penyelamat potensial, di tengah meningkatnya rasa frustrasi terhadap pemerintahan sipil di tingkat pusat dan daerah.
Namun, masyarakat harus ingat bahwa kembalinya militer ke ranah publik seharusnya hanya untuk waktu dan tujuan terbatas saja. Kita harus mengakui bahwa militer Indonesia, yang sebagian besar berpusat pada Angkatan Darat, saat ini tidak menghadapi ancaman keamanan atau pertahanan eksternal yang signifikan. Sebagai negara kepulauan, Angkatan Laut dan Angkatan Udara tentu saja yang seharusnya punya peran yang lebih strategis.
Tidak realistis mengharapkan militer untuk tetap tinggal di barak ketika mereka sedang tidak punya banyak aktivitas. Jadi, apa solusi yang menegakkan prinsip supremasi sipil yang ketat sekaligus dapat diterima oleh semua orang?
Masyarakat semakin lelah dengan penyalahgunaan kekuasaan yang sepertinya dilakukan secara merajalela oleh pejabat negara dan elit politik. Mereka juga muak dengan perilaku polisi yang korup dan kasar. Akibatnya, banyak yang menginginkan agar TNI keluar dari barak dan terlibat kembali dalam urusan sosial-politik.
Presiden Prabowo Subianto, mantan menantu Soeharto, telah berulang kali berjanji akan mematuhi konstitusi secara ketat, termasuk dalam menegakkan demokrasi. Kami percaya pada komitmen Presiden, dan kami yakin pemerintahannya akan stabil, mengingat koalisi yang berkuasa mengendalikan lebih dari 80 persen suara DPR.
Berakhirnya rezim Soeharto tetap menjadi peristiwa yang tak terlupakan bagi Prabowo. Karena, hanya tiga bulan setelah pengunduran diri Soeharto tersebut, Prabowo sendiri diberhentikan dari militer. Lebih jauh, Prabowo sering dikaitkan dengan aksi kekejaman, termasuk penculikan para kritikus yang gemar mencerca pemerintah, meskipun kasusnya tidak pernah diadili.
Reformasi besar-besaran tersebut menghapus hak istimewa militer. Ada pengakuan bahwa Soeharto telah menggunakan lembaga tersebut untuk mempertahankan kekuasaan. Pada 2004, DPR mengesahkan UU TNI. Undang-undang itu terutama menguraikan tugas TNI untuk keamanan dan pertahanan eksternal, dengan pembatasan ketat bagi personel militer yang memegang jabatan sipil.
Namun, pada Februari tahun ini, DPR menyetujui revisi undang-undang TNI yang memungkinkan militer mendapatkan kembali sebagian kekuasaan lamanya. Pemerintah bersikeras bahwa UU TNI yang direvisi hanya fokus pada tiga isu utama, yaitu memperluas operasional militer selain perang, menambah jabatan sipil yang dapat dipegang oleh personel TNI aktif, dan mengubah usia pensiun wajib bagi prajurit. Namun, jaminan ini belum cukup untuk meredakan skeptisisme publik.
Setelah hampir tiga dekade, ada tanda-tanda yang meyakinkan terkait negara yang coba-coba kembali ke era Soeharto. Masa-masa dulu adalah masa yang mengagungkan stabilitas. Pemilihan Prabowo, khususnya, jelas menjadi momen penting bagi militer untuk berpotensi mendapatkan kembali kekuasaan yang menguntungkan mereka dalam urusan sosial-politik.
Tepat 27 tahun yang lalu, Soeharto lengser setelah protes nasional. Semoga hari ini menjadi pengingat yang jelas bagi bangsa, menyadarkan kita semua agar tidak meninggalkan jalinan demokrasi yang cemerlang, yang telah disusun menggunakan darah dan air mata kita.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.