Meskipun pembangunan Blok M yang berkelanjutan tak diragukan lagi akan meningkatkan daya tarik kawasan tersebut, Gubernur Pramono harus melihat lebih jauh lagi dari Jakarta Selatan jika ia ingin Jakarta menjadi "kota global", setara dengan kota-kota besar seperti Singapura, New York, London, dan Tokyo.
Jika Anda menghabiskan malam akhir pekan berjalan-jalan di sekitar Blok M, Jakarta Selatan, Anda akan menemukan pusat perbelanjaan yang ramai dengan ciri khas anak muda. Di sanalah ribuan orang berbondong-bondong mencicipi makanan viral terbaru, menghadiri berbagai acara, atau sekadar berburu foto yang layak diunggah di Instagram.
Namun, kawasan tersebut tidak selalu sesemarak itu. Hanya beberapa tahun lalu, Blok M hanyalah bayangan samar dari lokasi itu di masa silam. Dulu, Blok M adalah kawasan komersial yang pernah berkembang pesat, yang sejak 1968 menjadi salah satu pusat ekonomi utama Jakarta.
Seiring munculnya destinasi belanja baru, mal-mal di kawasan Blok M mulai kehilangan daya tariknya. Satu per satu, toko-toko tutup karena pelanggan berkurang.
Titik baliknya adalah peresmian MRT Jakarta pada 2019. Salah satu stasiun MRT terletak di jantung Blok M.
Pembangunan ini memberikan kehidupan baru bagi kawasan tersebut. Hadirnya stasiun MRT mengubah Blok M dari pusat perbelanjaan yang terlupakan menjadi magnet bagi investasi dan inovasi. Blok M jadi kisah sukses tentang keberhasilan perencanaan kota yang cermat dan pembangunan berorientasi transit (transit-oriented development atau TOD) merevitalisasi lanskap ekonomi dan budaya sebuah kota.
Baru-baru ini, pemerintah Jakarta meluncurkan inisiatif revitalisasi besar lainnya di Blok M. Tujuannya adalah mengubah kawasan komersial yang telah lama berdiri menjadi pusat ekonomi 24 jam. Pembangunan ini merupakan bagian dari upaya ibu kota agar menjadi kota yang berdaya saing global.
Pada Sabtu 24 Mei, Gubernur Pramono Anung secara resmi mengubah nama kawasan tersebut menjadi "Blok M Hub". Dilakukan peluncuran serangkaian peningkatan infrastruktur yang berpusat pada TOD. Inisiatif ini berupaya meningkatkan akses menuju transportasi dan fasilitas umum, serta infrastruktur bagi pejalan kaki. Intinya adalah memposisikan kawasan tersebut sebagai pusat transformasi ekonomi Jakarta.
Meskipun pembangunan Blok M yang berkelanjutan tidak diragukan lagi akan meningkatkan daya tarik kawasan tersebut, Gubernur Pramono harus melihat lebih jauh lagi dari Jakarta Selatan, jika ia ingin Jakarta menjadi "kota global" yang setara dengan kota-kota besar seperti Singapura, New York, London, dan Tokyo.
Fokus tunggal pada satu bagian kota berisiko memperparah kesenjangan di perkotaan, serta menghilangkan potensi penuh TOD sebagai penarik lebih banyak penduduk untuk menggunakan transportasi umum, mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, dan memutar roda ekonomi.
Daripada memusatkan pembangunan hanya di Blok M, Gubernur Pramono harus mempertimbangkan untuk memperluas konsep TOD ke pusat-pusat ekonomi lain yang telah lama berdiri. Misalnya, kawasan Tanah Abang di Jakarta Pusat atau Jatinegara di Jakarta Timur. Daerah-daerah ini punya potensi sangat besar tetapi masih kurang dimanfaatkan dalam hal tata kota yang terpadu.
Tanah Abang adalah rumah bagi pasar tekstil terbesar di Asia Selatan. Sayangnya, meskipun berlokasi di dekat stasiun kereta komuter, halte MRT, dan dilalui koridor bus TransJakarta, daerah sekitarnya tetap kacau, macet, dan tidak ramah bagi pejalan kaki. Pada 2019, pemerintah Jakarta meluncurkan rencana ambisius senilai Rp 19 triliun (1,16 miliar dolar Amerika) untuk mengubah kawasan Tanah Abang menjadi kawasan bisnis kelas atas layaknya SCBD di Jakarta Selatan. Namun, rencana tersebut tidak pernah terwujud.
Sekaranglah saatnya berinvestasi kembali dalam mengembangkan wilayah berorientasi tempat transit yang kokoh di Tanah Abang. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak pemilik bisnis di pasar Tanah Abang yang melaporkan terjadinya penurunan laba, sebagian besar disebabkan oleh persaingan dagang dari peritel daring. Ini alasan kuat bahwa revitalisasi jadi lebih mendesak dari sebelumnya.
Pasar Jatinegara, salah satu pasar tertua di Jakarta yang berdiri sejak abad ke-17, juga menghadapi tantangan serupa. Meski lokasinya strategis, para pedagang telah melaporkan bisnis yang anjlok secara tajam dalam tahun-tahun terakhir. Beberapa bahkan mengaku mengalami penurunan pendapatan hingga 80 persen.
Bangunan pasar itu sendiri tampak ketinggalan zaman dan perlu direnovasi. Merombak ruang melalui TOD yang menghubungkan pasar dengan stasiun Jatinegara dan halte bus Transjakarta di dekatnya, ditambah dengan menghadirkan ruang terbuka hijau, dapat memberi kehidupan baru bagi area tersebut.
Pemerintah Jakarta telah menetapkan tujuan ambisius untuk meningkatkan peringkat kota dalam Global City Index (GCI). Targetnya adalah mencapai posisi ke-58 dalam lima tahun ke depan, kemudian masuk dalam jajaran 20 besar pada 2045.
Untuk mencapai visi tersebut, diperlukan lebih dari sekadar fokus pada pembangunan TOD di Jakarta Selatan. Kisah sukses seperti Blok M juga harus ditiru di seluruh wilayah kota.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.