Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsRencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) jangka panjang yang telah lama ditunggu-tunggu dan disebut “hijau” telah hadir, tetapi bukan seperti yang diharapkan.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berisiko melakukan kesalahan yang sama dengan pemerintahan sebelumnya. Kesalahan ini dapat menghambat kenaikan penggunaan energi terbarukan di tahun-tahun mendatang, seperti yang telah ia janjikan.
Meskipun ada klaim bahwa RUPTL akan memprioritaskan energi hijau, rencana bisnis tersebut mengutamakan pembangkit listrik berbahan bakar fosil selama paruh pertama dari 10 tahun rencana proyek. Lebih dari 76 persen dari 16,6 gigawatt yang direncanakan akan diperoleh selama periode ini bersumber dari batu bara dan gas.
Sementara itu, dalam periode yang sama, hanya akan terealisasi 28 persen energi baru dan terbarukan dari 42,6 GW yang direncanakan.
Sebagian besar proyek energi terbarukan telah diundur pelaksanaannya di lima tahun terakhir dalam rencana jangka panjang. Namun, realisasinya akan bergantung pada adanya peningkatan permintaan listrik yang signifikan di masa mendatang, apakah sesuai proyeksi pemerintah.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta perusahaan listrik milik negara PLN menyusun rencana bisnis tersebut berdasarkan asumsi bahwa ekonomi akan tumbuh sebesar 8 persen di akhir pemerintahan Prabowo pada 2029. Pertumbuhan ekonomi itulah yang pada akhirnya akan mendorong permintaan listrik, karena ada tuntutan penambahan energi.
Masalahnya, sulit untuk membayangkan negara ini mencapai tingkat pertumbuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam lebih dari satu dekade. Apalagi Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi 8 persen adalah "skenario optimis" dan bukan batas bawah yang pasti dapat dicapai Indonesia.
Bahkan tahun ini, para ekonom memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh di bawah kecepatan biasanya yaitu 5 persen. Hal itu merupakan sinyal melemahnya permintaan.
Di masa lalu, pemerintahan mantan presiden Joko “Jokowi” Widodo telah secara ambisius menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen. Ternyata realisasinya jauh di bawah proyeksi pemerintah, yaitu sekitar 5 persen per tahun selama dekade terakhir.
Ketika pemerintahan Jokowi mencoba mengasumsikan permintaan listrik akan tumbuh sekitar 7 persen juga, yang terjadi adalah prediksi lonjakan permintaan listrik yang tidak pernah terwujud.
Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa selama satu dekade terakhir permintaan listrik hanya tumbuh rata-rata sekitar 4,6 persen.
Selama bertahun-tahun, kelebihan pasokan listrik telah menjadi alasan kuat bagi kementerian dan PLN untuk menunda atau mengabaikan adanya tambahan energi terbarukan, yang seharusnya sudah dapat kita lihat realisasinya hari ini.
PLN dalam beberapa kesempatan juga menyalahkan kelebihan pasokan sebagai penyebab tekanan yang terjadi pada keuangannya. Hal itu terutama karena kontrak take-or-pay untuk kelebihan daya ini. Dalam kontrak, PLN harus membeli minimal sejumlah daya listrik dari pembangkit swasta. Kontrak itu telah membatasi kemampuan PLN untuk mengembangkan infrastruktur jaringan yang sangat dibutuhkan, yang seharusnya memungkinkan aliran energi terbarukan dari daerah terpencil ke pusat permintaan.
Porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional mencapai 14,1 persen pada akhir 2024. Angka itu jauh dari 19 persen yang ditetapkan pemerintah demi mencapai target yang ditetapkan untuk tahun ini, yaitu 23 persen. Sekarang, target itu sudah tidak berlaku lagi.
Mengingat apa yang telah dilakukan kedua presiden dengan rencana bisnis baru, ada risiko nyata bahwa puluhan gigawatt energi terbarukan yang direncanakan terwujud jauh di masa mendatang, dalam dekade berikutnya, dapat mengalami nasib kegagalan yang sama.
Jika pembangkit listrik berbahan bakar fosil terus beroperasi dengan kapasitas tinggi karena kewajiban kontrak, proyek energi terbarukan berisiko dibatasi atau kurang dimanfaatkan.
Risiko tersebut makin jelas setelah pemerintah dan PLN pada akhir 2023 memilih pengurangan secara bertahap penggunaan batu bara, yang fokus pada pengurangan emisi dari pembangkit listrik batu bara. Pemerintah tetap mengoperasikan pembangkit energi berbahan batu bara dalam jangka waktu lebih lama, dan bukannya menghentikannya lebih awal, untuk memberi ruang bagi proyek energi terbarukan.
Kita harus berpikir soal kemungkinan bahwa hal ini akan menimbulkan ketidakpastian bagi investor, yang ingin mengembangkan proyek energi terbarukan di Indonesia dalam beberapa tahun mendatang.
RUPTL baru merupakan sinyal yang campur aduk. Rencana tersebut mengisyaratkan masa depan yang lebih bersih terkait energi, tetapi rencana aksinya masih tetap menunjukkan ketergantungan kuat pada sesuatu yang sudah ketinggalan zaman.
Rencana bisnis tersebut berisiko menjadi satu lagi peluang yang terlewatkan dalam perjalanan panjang Indonesia menuju pembangunan berkelanjutan. Hal itu bisa dihindari jika pemerintah dan PLN bersedia membuat kebijakan nyata untuk benar-benar menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi investasi energi ramah alam.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.