Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsPara birokrat kita harus belajar untuk tidak bersikap xenophobia saat menghadapi ekspatriat.
Pemerintah punya banyak alasan untuk mempersulit orang asing bekerja di negara ini. Tapi, bukan berarti tidak ada kesempatan bagi para pekerja asing. Salah satu alasan pemerintah adalah untuk melindungi lapangan kerja dan membatasi jumlah pekerja asing, hanya untuk bidang pekerjaan yang tidak dapat diisi oleh orang Indonesia. Hal serupa juga dilakukan oleh sebagian besar negara lain. Tetap saja, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk memeras ekspatriat yang ingin bekerja di Indonesia.
Fakta adanya unit di Kementerian Ketenagakerjaan, yang menangani izin kerja bagi ekspatriat, yang telah memungut biaya ilegal menunjukkan bahwa praktik ini telah berlangsung selama bertahun-tahun. Penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang awalnya terbatas pada periode 2019-2024, dengan segera diperpanjang jangka waktunya hingga mulai periode 2012. Artinya, yang diperiksa adalah ativitas selama tiga pemerintahan berbeda, di bawah tiga menteri yang berbeda.
KPK menyita uang tunai miliaran rupiah dan sejumlah mobil dari rumah sejumlah pejabat tinggi Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing. Benda-benda tersebut diduga berasal dari uang yang konon mereka kutip secara paksa dari tenaga kerja asing atau pihak yang mempekerjakan para tenaga asing tersebut. Delapan pejabat, termasuk mantan direktur jenderal penempatan tenaga kerja asing, telah ditetapkan sebagai tersangka dalam penyidikan korupsi tersebut. Dengan adanya perpanjangan masa yang disidik, diperkirakan akan lebih banyak orang yang akan jadi tersangka.
Investigasi KPK menemukan bahwa unit tersebut mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar ($3,3 juta) dalam bentuk pungutan liar dari ekspatriat yang mengajukan izin, dalam kurun waktu dari 2019 hingga 2024. Sebagian besar uang itu dibagi di antara kedelapan orang yang jadi tersangka, tetapi sebagian juga diberikan kepada pegawai golongan yang lebih rendah, termasuk office boy. Ada juga biaya yang digunakan untuk membayar makan siang di kantor, yang mungkin berupa makan siang mewah.
Jumlah ekspatriat di Indonesia tidak terlalu besar. Dan terbatasnya jumlah itu sebagian besar berkat undang-undang yang ketat. Pada 2024, sekitar 184.000 pekerja asing terdaftar di Kementerian Ketenagakerjaan, naik dari 168.000 pada tahun sebelumnya. Pekerja Tiongkok merupakan yang jumlahnya terbesar yaitu 54 persen, diikuti oleh pekerja Jepang, Korea Selatan, India, Malaysia, dan Filipina.
Banyak dari pekerja ini, khususnya pekerja Tiongkok, datang sebagai bagian dari perusahaan penanaman modal asing. Sedangkan pekerja asing lainnya memang punya keterampilan khusus. Ada juga beberapa yang berada di negara ini karena kecintaan mereka terhadap Indonesia, termasuk mereka yang memiliki pasangan warga negara Indonesia.
Meskipun undang-undang tentang orang asing yang bekerja di Indonesia cukup jelas, prosedurnya bisa rumit dan panjang. Banyak pekerja serta pemberi kerja menyewa agen profesional untuk membantu mengurus prosedurnya.
Para perantara ini mengenakan biaya yang mencakup biaya tidak resmi, termasuk ongkos suap. Mereka harus membayar birokrat demi memperlancar dan mempercepat proses. Perusahaan yang mempekerjakan, atau sang ekspatriat sendiri, mungkin tidak pernah tahu bahwa mereka membayar sogokan. Jika pun mereka tahu ada biaya yang dikeluarkan, mereka hanya menganggapnya sebagai bagian normal dalam berbisnis di Indonesia.
Kita tidak akan pernah tahu berapa banyak potensi investasi asing yang hilang akibat perilaku para birokrat ini. Kita tahu perusahaan-perusahaan dari Amerika Serikat dihalang-halangi Foreign Corrupt Practices Act, atau Undang-Undang Praktik Korupsi Asing, yang melarang perusahaan menyuap pejabat asing. Bisa diduga bahwa terjadi kerugian cukup besar, tidak hanya dalam hal investasi, tetapi juga dalam hal dampaknya pada ekonomi.
Para birokrat kita harus belajar untuk tidak terlalu bersikap xenophobia saat berurusan dengan ekspatriat. Xenophobia merupakan rasa curiga berlebihan yang muncul saat berhubungan dengan orang asing. Fakta bahwa para ekspatriat telah setuju mengikuti prosedur, yang rumit dan panjang, sudah merupakan indikasi baik terkait niat mereka untuk mematuhi hukum. Kita harus menghormati mereka.
Pindah ke negara lain, untuk jangka waktu pendek atau panjang, merupakan tantangan besar bagi siapa pun. Harus ada alasan kuat saat meninggalkan segalanya, termasuk orang-orang terkasih. Satu atau dua orang pekerja asing bisa saja punya niat buruk, tetapi kita harus berasumsi bahwa sebagian besar dari mereka datang dengan niat terbaik dan ingin berkontribusi bagi negara tempat mereka tinggal.
Paling tidak, yang dapat kita lakukan adalah mencintai mereka juga.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.