aat ini semakin banyak kelompok kepentingan yang menolak pengesahan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) yang kontroversial tentang penciptaan lapangan kerja. Alasan penolakan berawal dari proses pengesahan yang dinilai cacat konstitusional dan tidak demokratis.
Pada Desember 2022, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menandatangani Perppu untuk menerbitkan UU Cipta Kerja. UU tersebut telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi pada 2021. Putusan MK menilai UU Cipta Kerja menggunakan metode omnibus yang tidak dikenal untuk merevisi beberapa undang-undang sekaligus dan pembahasannya pun melibatkan hanya sedikit partisipasi publik.
Mahkamah Agung memberi ultimatum kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengulang proses pembuatan undang-undang dalam waktu dua tahun. Jika tidak, UU akan dicabut secara permanen. Ternyata, pemerintah malah mengeluarkan Perppu, seperti jalan pintas yang diambil pembuat undang-undang, dengan memberlakukan aturan lain yang memungkinkan penggunaan metode omnibus.
Perppu, yang harus disahkan oleh rapat paripurna DPR untuk menjadi undang-undang permanen, mendapat dukungan luas dari Badan Legislatif (Baleg) DPR pada Februari. Semua partai propemerintah sejak awal telah tegas mendukung keputusan pemerintahan Jokowi.
Dalam rapat paripurna DPR untuk mengkonfirmasi pengesahan Perppu pada Selasa (21 Maret), tujuh dari sembilan fraksi DPR setuju untuk mengesahkan undang-undang tersebut. Hanya Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengajukan keberatan.
Pada Selasa, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, mewakili pemerintah mengatakan bahwa Perppu diterbitkan karena kebutuhan mendesak untuk memitigasi krisis ekonomi global yang membayangi perekonomian Indonesia.
Namun, gelombang protes dari kelompok buruh dan para pakar bidang pemerintahan terlihat semakin meluas.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang kemungkinan besar akan bermasalah seperti upaya yang sebelumnya telah dilakukan, karena tidak mengikuti prosedur yang tepat.
Feri mencontohkan, menurut UUD 1945, harus ada kondisi darurat sebelum presiden mengusulkan sebuah Perppu yang kemudian disahkan oleh DPR.
Dia juga mengatakan, Perppu seharusnya sudah disahkan menjadi undang-undang oleh badan legislatif pada periode antara Januari dan Februari, sejalan dengan ultimatum Mahkamah Agung.
“Perppu Cipta Kerja seharusnya dicabut dan dibatalkan karena tidak selesai dalam masa dua tahun, dan tidak memenuhi kriteria terkait kondisi darurat,” kata Feri kepada The Jakarta Post, Rabu.
Bivitri Susanti, salah satu pendiri Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, mengatakan bahwa Perppu sendiri pada dasarnya adalah alat yang tidak demokratis namun digunakan oleh negara yang seharusnya demokratis.
Ia mengatakan, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, UU Cipta Kerja 2020 harus direvisi dengan melibatkan masyarakat.
“Faktanya, masyarakat sama sekali tidak diikutsertakan. Perppu hanya diusulkan oleh Presiden dan prosesnya tidak transparan,” kata Bivitri kepada The Jakarta Post, Rabu.
Dia mengatakan Perppu kemungkinan merupakan jalan pintas yang diambil pemerintah untuk mempertahankan undang-undang ketenagakerjaan tanpa harus merevisinya.
“Aspek kedaruratan Perppu juga tidak terpenuhi. Ini keadaan darurat macam apa? Saat ini tidak ada krisis ekonomi yang menjadi dasar Perppu tersebut,” kata Bivitri.
Kelompok buruh menyatakan kekecewaan atas pengesahan Perppu tersebut dan bertekad menggugat secara hukum melalui upaya peninjauan kembali di Mahkamah Konstitusi.
“Kami menilai pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang adalah cacat konstitusional,” demikian pernyataan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Selasa.
Ditambahkan bahwa, “Kami juga akan berjuang untuk memastikan bahwa undang-undang tersebut dicabut, dengan mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi.”
Sementara itu, Said Iqbal Ketua Umum Partai Buruh, dulu adalah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), mengatakan bahwa partai dan serikat pekerja afiliasinya menolak pengesahan Perppu, seperti halnya UU sebelumnya, karena Perppu mengandung pasal-pasal yang merugikan hak-hak pekerja.
"Dalam seminggu ini, kami akan mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi [...] sambil menunggu kaji ulang undang-undang," kata Said dalam konferensi pers dari pada Selasa.
Dia juga mengatakan bahwa serikat pekerja berencana menggelar aksi protes dalam beberapa gelombang berikut mogok kerja nasional untuk menentang undang-undang baru. Diperkirakan lima juta pekerja dari berbagai kota akan ikut serta dalam aksi.
Para pemerhati lingkungan juga kecewa atas disahkannya Perppu tersebut. Mereka menilai hak masyarakat Indonesia atas lingkungan yang sehat semakin terkikis.
Deputi Eksternal Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Ode Rakhman mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Perppu tentang Cipta Kerja telah menghilangkan dukungan dan perlindungan keselamatan lingkungan termasuk pelestarian hutan dan konservasi wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil. Selain itu, masih banyak masalah lain yang diabaikan.
Dua partai politik yang duduk di DPR, PKS dan Partai Demokrat, telah menyatakan keberatan atas pengesahan Perppu Cipta Kerja.
PKS meninggalkan rapat paripurna, sementara Demokrat menginterupsi rapat dan mengingatkan bahwa Perppu lebih banyak memicu masalah dan bukan menawarkan solusi.
Anggota Baleg DPR Santoso dari Partai Demokrat juga menyebut bahwa undang-undang baru tersebut cacat konstitusional. Pemerintah dinilai tidak memberikan penjelasan rasional tentang keadaan darurat yang mendasari diterbitkannya Perppu.
Amin AK, anggota Baleg dari PKS, menilai upaya pemulihan ekonomi negara sudah cukup stabil, sehingga tidak ada keadaan mendesak apa pun yang perlu Perppu.
“Perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,72 persen pada kuartal ketiga tahun lalu, di atas tren pertumbuhan yang hanya 5 persen. Indonesia juga termasuk negara yang aman dari ancaman resesi global,” kata Amin, seperti dikutip kompas.com pada Selasa 21 Maret.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.