Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsresiden Joko “Jokowi” Widodo mengimbau dengan tegas agar negara-negara Global South bersatu dan menolak segala upaya yang menghalangi kemajuan pembangunan di negara-negara tersebut, tanpa membahas posisi Indonesia yang tidak termasuk dalam pengembangan perhimpunan BRICS.
Jokowi hadir dalam sesi BRICS Plus Dialogue yang diadakan di Afrika Selatan pada Kamis lalu. Saat berpidato, Jokowi meminta negara-negara berkembang untuk memperjuangkan hak atas pembangunan yang adil.
“Kita semua telah menyaksikan ketidakadilan tatanan ekonomi dunia saat ini,” kata Presiden, seperti yang ada di salinan pidatonya yang diterima The Jakarta Post. “Mari menolak diskriminasi perdagangan. Hilirisasi industri tidak boleh dihambat. Kita semua harus terus menyuarakan kerja sama yang setara dan inklusif.”
Pesan yang disampaikan pada pertemuan puncak di Johannesburg tersebut tampak merangkum rasa frustrasi Jokowi yang semakin besar terhadap mitra-mitra dari negara Barat. Uni Eropa, misalnya, berupaya menghalangi hilirisasi sektor mineral penting dengan menyeret Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
BRICS sendiri merupakan kelompok ekonomi yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Blok ini telah berjanji mendukung negara-negara berkembang dan menawarkan alternatif dalam perekonomian dunia, selain dominasi negara-negara Barat yang kaya.
BRICS memposisikan diri sebagai pelopor negara-negara Selatan yang menjadi penyeimbang negara-negara maju dalam kelompok G7. Baru-baru ini, BRICS menerima enam negara anggota baru dengan harapan dapat memperbaiki status quo yang ada.
Tidak masuknya Indonesia dalam daftar negara yang menjadi anggota baru BRICS menimbulkan beragam tanggapan dari kalangan pengamat kebijakan luar negeri. Namun, Jokowi berargumen bahwa masuk BRICS tidak pernah jadi prioritas utama dalam kunjungan perdananya ke Afrika tempo hari.
“Untuk mengajukan keanggotaan harus menunjukkan ketertarikan. Kita belum mengirim suratnya,” kata Jokowi saat jumpa pers sebelum bertolak kembali ke Indonesia. Presiden RI menghadiri KTT BRICS atas undangan ketua blok, yaitu Afrika Selatan. Undangan bagi Indonesia adalah dalam kapasitas sebagai ketua ASEAN tahun ini.
Jokowi menegaskan, Indonesia tidak akan terburu-buru mengambil keputusan untuk bergabung dengan perhimpunan negara di Selatan tersebut, meski telah menjaga hubungan baik dengan seluruh negara anggota BRICS.
Jodi Mahardi, juru bicara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, mengatakan kepada The Jakarta Post pada hari Jumat bahwa gagasan agar Indonesia bergabung dengan BRICS “muncul dari diskusi internal dan rekomendasi para ekonom yang melihat potensi dan peran yang dimiliki Indonesia di tingkat global.”
Keanggotaan dalam perhimpunan adalah salah satu topik KTT BRICS ke-15. Kamis lalu, BRICS setuju untuk menerima Arab Saudi, Iran, Ethiopia, Mesir, Argentina, dan Uni Emirat Arab. Masuknya anggota baru ini menjadi proses perluasan perhimpunan yang pertama sejak 13 tahun dibentuk.
Tak cukup konkrit
Penegasan Jokowi berhasil menghapus spekulasi bahwa Indonesia berminat bergabung dengan BRICS. Indonesia memang sudah mendapat dukungan dari beberapa pemimpin dunia dan analis geopolitik.
Beberapa orang menafsirkan langkah ini adalah upaya Indonesia untuk memperlihatkan rasa tidak percaya pada BRICS. Faktanya, sangat sedikit terjalin kerja sama konkrit di antara anggota kelompok tersebut.
Andrew Mantong, peneliti hubungan internasional dari Centre for International and Strategic Studies (CSIS), menegaskan bahwa ketidakterlibatan Indonesia tak menutup peluang apa pun, karena internal BRICS sendiri masih berjuang menetapkan tujuan kelompok yang jelas.
Menurut Andrew, negara-negara BRICS memang telah punya komitmen bersama untuk mereformasi tatanan dunia, yang saat ini mereka anggap tidak adil dan tidak setara. Namun, mereka belum menemukan cara praktis apa pun yang dapat digunakan untuk melawan tatanan yang ada tersebut. “Saya pikir, masuk akal bagi Indonesia jika memutuskan untuk tidak bergabung dengan BRICS,” katanya kepada The Jakarta Post, Jumat kemarin (25 Agustus).
Riza Noer Arfani, pakar hubungan internasional di Universitas Gadjah Mada, mengatakan bahwa Indonesia tampaknya lebih fokus untuk bergabung dengan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development atau OECD). Parameter kebijakan keanggotaan OECD sudah lebih jelas.
“OECD adalah organisasi yang lebih tua dan menawarkan hasil yang lebih nyata bagi negara-negara seperti Indonesia, yang ingin menjadi negara berkembang dan keluar dari jebakan kelas menengah,” kata Riza, Jumat.
OECD adalah forum yang terdiri dari 38 negara demokrasi dengan ekonomi berbasis pasar. Forum ini membahas dan mengoordinasikan kebijakan di antara para anggotanya. Pada 2015, organisasi ini mendirikan kantor pertamanya di Asia Tenggara, di Jakarta.
Awal bulan ini, Jokowi mengungkapkan ketertarikan Indonesia untuk bergabung dengan OECD, ketika delegasi OECD mengunjunginya di Istana Kepresidenan.
Menurut Riza, BRICS kurang praktis. Selain itu, BRICS merupakan kelompok “vokal” yang menentang tatanan dunia. Bergabung dengan mereka akan berisiko bagi Indonesia, yang selama ini dipersepsikan sebagai negara yang relatif netral dalam menjalankan kebijakan luar negeri yang “bebas dan aktif”.
Sementara itu, tokoh lain seperti Dinna Prapto Raharjo, pendiri lembaga think tank Synergy Policies, berpendapat bahwa Indonesia seharusnya menunjukkan ketegasan bergabung dengan BRICS jika ada kesempatan. Keanggotaan akan membantu agenda perekonomian Indonesia dalam jangka pendek. Menurut Dinna, semua negara-negara anggota BRICS adalah negara pengekspor komoditas seperti Indonesia. Saat ini, tata kelola ekspor komoditas sebagian besar ada di bawah kendali negara-negara Barat yang lebih maju. “Indonesia tidak dapat melakukan negosiasi yang lebih kuat dengan negara-negara Barat tanpa kerja sama yang solid dengan anggota BRICS,” kata Dinna, Jumat kemarin.
Dia mengatakan bahwa BRICS juga telah mencari solusi terhadap sanksi ekonomi sepihak. Menurut Dinna, sanksi tersebut justru merugikan masyarakat umum dalam rantai pasokan di negara-negara berkembang, dan meleset dari target yang dituju, yaitu para elit politik. (yve)
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.