ndonesia ingin melibatkan perusahaan-perusahaan swasta untuk mempercepat pengembangan jaringan gas (jargas) rumah tangga. Namun, perusahaan-perusahaan tersebut mengatakan bahwa mereka hanya mungkin berpartisipasi jika ada insentif, untuk memastikan keuntungan jangka panjang.
Pemerintah sedang membahas revisi Peraturan Presiden No.6 Tahun 2019 untuk membuka jalan bagi keterlibatan pihak swasta melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU).
Di bawah peraturan yang berlaku, Indonesia bergantung sepenuhnya pada perusahaan gas milik negara PT PGN untuk membangun proyek jaringan gas berdasarkan penugasan dari pemerintah.
Pada hari Senin (16 Oktober), ketua Indonesian Gas Society Aris Mulya Azof mengatakan kepada The Jakarta Post bahwa pemerintah harus memastikan jika perusahaan-perusahaan akan memperoleh harga jual yang layak. Harga jual ini selain harus menutupi biaya operasional dan pemeliharaan, juga memungkinkan mereka mendapatkan keuntungan dalam jangka panjang. Ia juga menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan membutuhkan kepastian terkait pasokan gas dari hulu, serta kemudahan dalam memperoleh izin dari pemerintah daerah.
Ketika ditanya mengenai daya tarik proyek ini, Aris mengatakan, "Tentu saja akan menarik dengan adanya insentif, seperti harga jual gas yang menguntungkan."
Indonesia bertujuan mengurangi ketergantungan berlebihan pada impor gas elpiji (LPG atau liquefied petroleum gas) yang mahal dengan mengalihkannya ke jaringan gas rumah tangga.
Menurut data dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), impor LPG Indonesia sebesar 6,34 juta ton di 2021. Angka tersebut menunjukkan peningkatan tiga kali lipat jika dibandingkan dengan satu dekade lalu.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.