TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Apa kabar target 7%?

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Mon, July 3, 2023

Share This Article

Change Size

Apa kabar target 7%? Mandiri Leading Economic Index and Indonesia GDP growth comparison (Bank Mandiri/BPS)
Read in English

M

emasuki pertengahan tahun 2023, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) telah merilis laporan terpisah tentang keadaan ekonomi Indonesia. Penilaian eksternal perlu diterima dan dipelajari, terutama menyangkut bagian-bagian penting.

Beberapa negara ekonomi maju sedang mengalami atau terancam resesi, dan pertumbuhan China sejak Beijing mencabut aturan pembatasan terkait COVID-19 belum sesuai harapan. Sementara itu, Indonesia diproyeksikan akan mengalami sedikit perlambatan, terutama karena harga komoditas global telah turun dan permintaan domestik diperkirakan akan mencapai tingkat rata-rata saja.

IMF memperkirakan PDB Indonesia tumbuh 5,0 persen tahun ini dan 5,1 persen pada 2024. Prediksi Bank Dunia lebih rendah, tapi hanya selisih 0,1 poin persentase, memperkirakan PDB Indonesia tumbuh 4,9 persen pada 2023 dan 5,0 persen tahun depan. Angka-angka ini sejalan dengan pertumbuhan Indonesia sebelum pandemi. Istilah “perlambatan” hanya berlaku jika angka tersebut dibandingkan dengan pertumbuhan tahun lalu yang luar biasa kuat, yaitu sebesar 5,3 persen.

Sebelumnya, menurut perkiraan IMF, Indonesia akan dengan mudah mengalahkan pertumbuhan ekonomi global yang angkanya 2,8 persen tahun ini dan sedikit melampaui pertumbuhan ASEAN, 4,6 persen.

Inflasi telah ditekan hingga masuk kisaran target Bank Indonesia, meskipun tetap tinggi di beberapa negara maju dan berkembang. Laporan Prospek Ekonomi Indonesia yang ditulis Bank Dunia sebagian mengaitkan keberhasilan negara ini dalam menahan kenaikan harga pangan melalui “intervensi pemerintah di tingkat subregional untuk mengurangi hambatan pada pasokan”.

Pendekatan langsung telah menjadi ciri pengendalian inflasi di Indonesia. Negara-negara lain yang sangat mengandalkan kebijakan moneter untuk mengendalikan harga konsumen mungkin ingin melihat dan belajar dari pendekatan langsung tersebut.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Dengan meninjau data konsolidasi fiskal yang lebih cepat dari rencana, menurunnya utang luar negeri, dan adanya cadangan devisa yang memadai, Bank Dunia percaya bahwa “Indonesia menjadi lebih tahan terhadap guncangan eksternal”.

Sebagian besar risiko eksternal, misalnya meningkatnya utang di negara maju dan ketegangan geopolitik antara negara-negara besar, berada di luar kendali Indonesia. Meskipun pemerintah kita tidak dapat menghilangkan risiko eksternal tersebut, Indonesia dapat dan harus menciptakan peluang internal.

Namun, perlu diingat bahwa angka pertumbuhan PDB 5 persen bukanlah angka rata-rata jangka panjang yang dicita-citakan negara. Di awal masa jabatan pertamanya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menjanjikan 7 persen.

Target tersebut terdengar sangat tidak realistis saat ini, karena Indonesia kekurangan potensi PDB yang diperlukan untuk mencapainya. Bahkan jika negeri ini menggunakan keseluruhan sumber dayanya. Lebih jauh, Indonesia membutuhkan lingkungan ekonomi global yang mendukung.

Salah satu masalah yang harus dihadapi Indonesia untuk mencapai pertumbuhan tersebut adalah produktivitas, khususnya produktivitas tenaga kerja.

“Potensi pertumbuhan menurun karena berkurangnya tenaga kerja, pengembangan sumber daya manusia yang lemah, dan pertumbuhan produktivitas yang melambat,” kata laporan Bank Dunia, yang, bukan kebetulan, diberi judul The Invisible Toll of COVID-19 on Learning. Judul tersebut bisa diartikan sebagai pembelajaran dari para korban COVID-19 yang tak tampak, untuk menggambarkan dampak pandemi yang tak kasat mata di sektor pendidikan Indonesia.

Pertumbuhan PDB yang stabil dan inflasi yang terkendali merupakan bukti manajemen ekonomi makro sehari-hari yang baik dari pihak otoritas politik dan moneter negara. Namun, ekonomi nasional memerlukan lebih dari dua hal itu untuk menghadapi tantangan jangka panjang yang terbentang di masa depan.

Pendidikan, atau lebih tepatnya, pembelajaran sepanjang hayat, merupakan inti produktivitas manusia. Sangat penting bagi Indonesia untuk meningkatkan diri di bidang pembelajaran ini, dan harus ditingkatkan segera, agar bonus demografi yang selama ini diagung-agungkan tidak jadi sia-sia.

Banyak negara kehilangan waktu sekolah karena pandemi mengganggu kegiatan belajar mengajar di seluruh dunia. Tetapi, kerusakan yang bisa dibilang parah terjadi di negara-negara miskin dan negara berkembang. Di negara-negara tersebut, sebagian besar populasi adalah warga usia sekolah, tetapi banyak dari mereka kesulitan mengakses kelas-kelas daring.

Kita tidak punya banyak waktu. Indonesia harus segera mengejar ketertinggalan akibat kehilang waktu belajar yang lalu.

Pendidikan perlu ditingkatkan secara menyeluruh. Untuk itu, dibutuhkan investasi besar, baik dari sektor publik maupun swasta, termasuk investasi asing.

Namun, mencurahkan dana untuk membangun banyak sekolah juga tidak akan menyelesaikan masalah. Yang lebih penting adalah menata ulang semua aspek pembelajaran, dengan memperhitungkan kondisi dunia pada tahun 2050 sebagai acuan pembenahan.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.