Proyek ibu kota baru memang penting dan strategis, tetapi harus dikerjakan secara manusiawi.
bu kota baru, Nusantara, dalam rencananya disebut-sebut sebagai kota yang inklusif, ramah lingkungan, dan manusiawi. Namun, pemberitaan baru-baru ini mengenai rencana penggusuran masyarakat adat di wilayah tersebut dapat menghancurkan citra kota baru tersebut.
Sebelumnya, pada awal Maret, Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) memberikan waktu maksimal satu minggu bagi setidaknya 200 orang yang tinggal di lingkungan Pemaluan untuk mengosongkan tanah mereka. Menurut OIKN, warga yang harus pindah itu tidak memiliki izin untuk menetap di daerah tersebut dan bahwa rumah mereka terpaksa dibongkar karena keberadaannya melanggar aturan tata ruang ibu kota baru.
Ironisnya, rencana penggusuran ini terjadi ketika pemerintah mengambil langkah agresif untuk menawarkan kesepakatan tanah yang menguntungkan bagi investor besar, baik nasional maupun asing. Presiden Joko “Jokowi” Widodo sendiri yang memerintahkan OIKN untuk memperbolehkan penjualan tanah, khususnya kepada investor, yang berencana membangun rumah tapak di kawasan tersebut.
Wajar jika muncul pertanyaan: mengapa Presiden tidak bisa membuat proyek Nusantara menjadi proyek yang adil? Artinya, proyek tersebut seharusnya juga menguntungkan masyarakat miskin, yang sesungguhnya adalah masyarakat adat Nusantara.
Setidaknya 20.000 anggota masyarakat adat tinggal di dalam dan di sekitar wilayah yang dijadikan Nusantara. Mata pencaharian mereka bergantung pada sumber daya alam yang tersedia di kawasan hutan di wilayah tersebut.
Orang-orang ini secara de facto adalah pemilik tanah, karena sudah turun temurun tinggal di sana, meski tidak punya dokumen sah yang membuktikan kepemilikan mereka.
OIKN harus menghormati hak-hak masyarakat adat tersebut. Mereka adalah warga negara Indonesia seperti kita semua. Mereka punya hak konstitusional yang sama untuk mendapatkan perlakuan yang sama seperti sesama warga negara Indonesia yang tinggal di Jawa, Sumatera atau Papua.
Sedih rasanya menyaksikan polisi mencukur kepala sembilan pengunjuk rasa yang menolak menyerahkan tanahnya kepada OIKN. Meskipun masyarakat tersebut tidak memiliki dokumen terkait kepemilikan tanah, pemerintah harus menghormati hak-hak adat masyarakat tersebut.
Kasus di IKN akan membuat kita ingat kejadian yang menimpa masyarakat Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau. Mereka terpaksa meninggalkan rumah mereka karena sebuah perusahaan besar asal Tiongkok akan menempati tanah mereka sebagai lokasi sebuah mega proyek.
Proyek ibu kota baru memang penting dan strategis, namun harus dilaksanakan secara manusiawi. Pihak berwenang perlu mengambil pendekatan persuasif dan memastikan bahwa warga yang digusur mendapatkan perumahan baru yang layak di wilayah tersebut. Dengan demikian, mereka akan tetap tinggal dekat dengan tanah adat mereka.
Memang, OIKN telah menyelesaikan 190 proyek dengan total nilai Rp 1,515 miliar (US$95,8 miliar) hingga Desember tahun lalu, tanpa ada keluhan berarti dari masyarakat.
Dari pengalaman masa lalu, kita tahu bahwa pemerintahan Presiden Jokowi telah berhasil menyelesaikan proyek infrastruktur besar-besaran dengan memberikan kompensasi yang layak kepada warga yang tanah dan propertinya terkena dampak proyek tersebut. Para pemilik tanah diberi ganti untung, yaitu kompensasi yang menguntungkan, dan bukan ganti rugi seperti yang biasa terjadi.
Jaringan jalan tol yang menghubungkan kota-kota di Jawa dan Sumatera bisa mewujud karena masyarakat rela menyerahkan tanahnya kepada pemerintah. Mereka memang mendapat kompensasi besar sebagai gantinya.
Masyarakat di wilayah yang dekat dengan Nusantara seharusnya mendapat perlakuan yang sama. Proyek Nusantara, bagaimanapun juga, merupakan proyek yang membanggakan sekaligus menyenangkan Presiden sendiri.
Presiden yang segera mengakhiri jabatannya tersebut punya rencana besar untuk mewujudkan Nusantara di tahun ini. Jokowi, yang diperkirakan akan pensiun pada Oktober, berencana mengadakan perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus mendatang di Nusantara.
Hal yang tidak kita inginkan adalah saat perhatian tertuju pada Nusantara saat 17 Agustus, dunia justru fokus pada ketidakadilan yang menimpa masyarakat adat di wilayah tersebut.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.