TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Tentang merelakan sesuatu

Sebelum Prabowo bisa mulai merintis janji pemilu untuk melanjutkan pembangunan, sponsor politiknya yang tidak resmi, Jokowi, harus membiarkan dia bangkit dan lepas dari bayang-bayang Jokowi sendiri.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Tue, April 30, 2024 Published on Apr. 29, 2024 Published on 2024-04-29T19:52:56+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Tentang merelakan sesuatu President-elect Prabowo Subianto (left) and vice president-elect Gibran Rakabuming Raka (right) walk past a portrait of President Joko “Jokowi“ Widodo, Gibran's father, during the plenary meeting of the General Elections Commission (KPU) announcing the 2024 presidential election winner in Jakarta on April 24, 2024. (AFP/Adek Berry)
Read in English

K

eberlanjutan, bagi sebagian besar institusi pemerintah dan dunia usaha, merupakan kata yang sangat enak didengar. Keberlanjutan atau kesinambungan adalah janji untuk membangun sesuatu melanjutkan yang sudah ada sebelumnya, serta menyingkirkan segala ketidakpastian.

Bagi para profesional yang bekerja kantoran, di kondisi perekonomian saat ini, kesinambungan berarti keamanan kerja. Mereka jadi punya peluang menabung lebih banyak demi persiapan menghadapi masa sulit, membangun keluarga, serta mempersiapkan hidup mereka di masa depan.

Bagi politisi yang bergabung dengan partai di Indonesia, yang tidak punya pemasukan tetap jika tidak punya jabatan di legislatif, atau mereka yang hidup dari pinjaman partai, atau negara, kesinambungan berarti berkah. Tentu saja selama Anda berada di sisi politik yang menang.

Bisa jadi ada perdebatan jika dikatakan bahwa masyarakat Indonesia lebih memilih kesinambungan daripada dobrakan. Tapi semua terbukti, dan tidak ada bukti yang lebih jelas lagi, dalam beberapa pemilu kita yang telah lalu.

Selain di masa transisi demokrasi yang penuh gejolak, yaitu ketika rezim otoriter Orde Baru Soeharto jatuh pada 1998 hingga dilaksanakannya pemilihan presiden langsung yang pertama pada 2004, para pemimpin kita selalu kita biarkan menjalani masa jabatan sepenuhnya. Beberapa bahkan menjabat lebih lama,  hingga puluhan tahun.

Pendiri negara, Sukarno, memerintah selama 22 tahun. Soeharto melampauinya, memerintah selama 31 tahun. Susilo Bambang Yudhoyono, presiden sebelum Joko “Jokowi” Widodo, menjabat selama dua periode, yaitu total sepuluh tahun.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Pemerintahan Jokowi kemungkinan besar akan mengakhiri satu dekade masa kekuasaan, setelah menjanjikan keberlanjutan pembangunan akan dilakukan oleh presiden terpilih, Prabowo Subianto, yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan.

Lagi pula, siapa yang tidak menginginkan pembangunan nyata dan stabilitas yang relatif selama satu dekade lagi? Apalagi didukung janji bagi-bagi kemakmuran dipadu nasionalisme yang gamblang.

Bahkan Prabowo, yang baru akan resmi menjadi presiden pada Oktober mendatang, sudah tampak nyaman bersinggungan dengan para pemimpin dunia seperti Xi Jinping dari Tiongkok atau Lee Hsien Loong dari Singapura. Dari gelagatnya, ia seperti telah terbiasa melakukannya.

Tentu saja kenyamanan ini akan menggoda mantan tentara berusia 72 tahun itu untuk tidak hanya menjalani satu masa jabatan presiden saja, jika ia mampu melanjutkan pekerjaan idamannya untuk masa jabatan lima tahun kedua. Menjabat hanya satu periode adalah saran personal dari beberapa orang di lingkaran terdekatnya.

Namun sebelum Prabowo bisa menepati janjinya untuk terus melanjutkan pembangunan yang sudah berjalan, sponsor politik tidak resminya, Jokowi, harus membiarkan dia bangkit dan lepas dari bayang-bayang Jokowi sendiri.

Jika wacana yang beredar bisa dipercaya, Jokowi diproyeksikan terus hadir dalam jajaran pemerintahan berikutnya. Dan selama dia masih di sana, berada di sana, ia menjadi sebuah kesinambungkan yang tidak demokratis. Jokowi bisa meminta agar rakyat diperhatikan oleh pemerintahan baru atau masih memikirkan masa depan warisannya, selama menjalankan perannya itu.

Demi peralihan yang damai dan demokratis kepada pemerintahan Prabowo, petahana harus melepas cengkeraman kekuasaannya. Ia harus memberi ruang pada presiden terpilih untuk menentukan arahnya sendiri. Prabowo harus mengangkat rakyatnya sendiri dan menapakkan jejaknya sendiri sebagai presiden berikutnya dari Indonesia yang penuh harapan ini.

Tidak masalah jika sesekali ada dorongan yang tidak terlihat dari tangan yang kuat, ke arah yang benar. Namun, jika kesinambungan dilakukan dalam bentuk pemerintahan, yang terjadi tidak ada bedanya dengan pemerintahan otokratis.

Ingat saja cara kita mengenang pahlawan; sang Bapak Pembangunan yang terkenal, Soeharto, setelah ia memerintah selama beberapa dekade, lebih lama dari yang seharusnya.

Jangan biarkan konsep kesinambungan, sekadar kesinambungan belaka, dalam membangun masa depan Indonesia. Kecuali jika kita telah siap menciptakan kembali jenis pemerintahan semacam Orde Baru.

Jokowi harus membiarkan Prabowo menentukan jalannya pemerintahan menurut caranya sendiri. Hal itu untuk membuktikan ia benar-benar menghormati proses demokrasi yang memberi Prabowo mandat dari rakyat.

Ketika pembicaraan soal tugas menyusun kabinet baru mengemuka, Presiden Jokowi harus bersiap mundur dari jabatan istimewanya. Ia harus mencontek tradisi raja-raja Jawa di masa lalu, lengser keprabon madeg pandhita, atau turun tahta dan jadi pendeta sederhana.

Dalam konteks Jokowi, ia mundur dari posisi penguasa, lalu mencari ketenangan hati, layaknya pendeta yang mengikhlaskan diri lepas dari segala tuntutan duniawi.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.