Politisi partai Golkar tengah fokus pada cara mengamankan pengaruh di pemerintahan berikutnya, baik di kabinet maupun lembaga strategis lainnya.
engunduran diri mendadak Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada 12 Agustus dan terpilihnya Bahlil Lahadalia sebagai penggantinya sembilan hari kemudian, menunjukkan betapa bergantungnya partai politik tertua di Indonesia itu pada penguasa negara. Golkar berganti haluan saat pemerintah menghendakinya.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo secara luas diyakini telah mengatur tata cara keluarnya Airlangga, sang politikus kawakan. Mundurnya Airlangga membuka jalan bagi Bahlil, yang sedang naik daun, untuk memimpin partai. Kedua sosok itu telah menunjukkan loyalitas kepada Jokowi. Tetapi Presiden yang akan lengser itu ingin memastikan bahwa Golkar berada di tangan orang yang tepat. Kepastian harus dibuat sebelum ia mengakhiri masa jabatan kedua dan terakhirnya pada 20 Oktober mendatang.
Bahlil telah bekerja keras untuk meyakinkan presiden terpilih Prabowo Subianto, bahwa Golkar akan menjadi mitra koalisi yang andal di bawah kepemimpinannya. Sebelumnya, ia menjabat sebagai menteri investasi, kemudian baru-baru ini diangkat sebagai menteri energi.
Sementara itu, keluarnya Airlangga menunjukkan bahwa kepatuhan dan kinerja tidak terlalu penting jika pemerintah berubah haluan. Airlangga kehilangan jabatan tertinggi di Golkar meskipun telah mengabdikan diri sebagai menteri koordinator ekonomi, dan bekerja keras untuk memastikan pertumbuhan Indonesia yang konsisten.
Presiden Jokowi tampaknya menuntut kesetiaan mutlak dari anggota koalisi yang berkuasa. Ia tak segan menggunakan semua instrumen yang dimilikinya, khususnya penegakan hukum, untuk menindak mereka yang menunjukkan tanda-tanda ketidakpatuhan.
Perombakan kabinet terbaru hanyalah satu dari banyak contoh kesewenang-wenangan Jokowi selama 10 tahun memimpin negara ini. Pergantian menteri yang baru lalu mengakibatkan pemecatan dua menteri yang terkait dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Sementara awal tahun ini, Partai NasDem kehilangan dua jabatan menteri setelah menyatakan dukungan pada calon presiden dari pihak oposisi, Anies Baswedan.
Namun, objek kesetiaan Golkar bukanlah Jokowi. Golkar fokus pada kekuasaan. Bahkan jika Presiden yang akan lengser diberi jabatan terhormat di partai, pragmatisme yang melekat pada Golkar akan menyebabkannya mengalihkan kesetiaan kepada pemerintahan baru.
Didirikan oleh mantan presiden Soeharto pada 1964, Golkar tidak asing lagi dengan adaptasi pada perubahan politik. Tidak mengherankan, kemampuan untuk menjamin kemudahan akses kepada penguasa dan sumber daya keuangan merupakan persyaratan paling penting bagi calon ketua Golkar.
Partai ini tidak diragukan lagi merupakan partai yang paling terorganisasi di Indonesia. Sementara partai politik lain sebagian besar dikendalikan oleh individu, Golkar sering dibandingkan dengan perusahaan publik. CEO dapat datang dan pergi kapan saja sesuai keinginan pemegang saham. Dan layaknya pemegang saham, mereka selalu menuntut pengembalian investasi yang tinggi.
Sekarang, Golkar menghadapi perebutan kekuasaan internal yang akan menentukan kelangsungan hidupnya menjelang pergantian pemerintahan. Para politisinya fokus pada cara mengamankan pengaruh di pemerintahan berikutnya, baik di kabinet maupun lembaga strategis lainnya. Tugas pertama adalah mendekati presiden terpilih Prabowo.
Sementara itu, Prabowo telah berjanji untuk melanjutkan kebijakan Jokowi. Alasan itu yang mendasari koalisinya dinamai Kabinet Indonesia Maju (KIM) Jokowi.
Bukti kesetiaan Prabowo kepada Jokowi adalah keputusannya untuk memilih putra Presiden yang akan lengser, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presidennya. Namun, seperti Golkar, Prabowo lebih tahu daripada kebanyakan orang bahwa prioritas dapat berubah saat kekuasaan berpindah tangan.
Lihat saja apa yang terjadi minggu lalu setelah gelombang protes nasional memaksa DPR membatalkan rencana merevisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Para legislator telah mencoba membuat perubahan yang memungkinkan putra kedua Jokowi, Kaesang Pangarep, dapat mencalonkan diri sebagai gubernur pada November medatang. Partai Gerindra milik Prabowo adalah yang pertama mengumumkan penarikannya dari rencana revisi tersebut. Secara terbuka, Prabowo memperingatkan para politisi agar tidak "haus kekuasaan" dengan mengorbankan rakyat.
Meskipun dorongan Prabowo untuk mengikuti jejak Jokowi dapat berganti atau bahkan hilang, akan selalu ada tantangan untuk mengulangi resep Jokowi demi memperkuat cengkeramannya pada dunia politik nasional.
Gejolak yang terjadi di Golkar akhir-akhir ini menunjukkan betapa lemahnya partai politik terhadap intervensi pihak luar. Mari kita lihat apakah akan ada perubahan dalam lima tahun ke depan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.