Sebagai presiden baru yang masih berupaya mengonsolidasikan kekuasaan, Prabowo tentu tidak ingin meninggalkan PDI-P, yang saat ini merupakan partai politik terbesar di DPR.
Di awal memerintah, sekitar tiga bulan lalu, Presiden Prabowo Subianto berjanji untuk memberantas korupsi. Tapi keputusan untuk menetapkan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto sebagai tersangka kasus korupsi kemungkinan besar bukan prioritas utamanya.
Sebagai presiden baru yang masih berupaya mengonsolidasikan kekuasaan, Prabowo tentu tidak ingin meninggalkan PDI-P, yang saat ini merupakan partai politik terbesar di DPR.
Bisa saja terjadi, penangkapan Hasto dapat mempersulit upaya Prabowo membangun hubungan yang baik dan stabil dengan Ketua Umum partai tersebut, Megawati Soekarnoputri. Upaya ini masih berupa rencana yang belum terealisasi, meskipun telah beberapa kali diusahakan.
Memancing kemarahan Megawati hanya tiga bulan setelah menjabat sebagai presiden adalah langkah berisiko yang tidak layak diambil.
Dari perspektif pemberantasan korupsi, keputusan untuk menetapkan Hasto sebagai tersangka korupsi dalam kasus suap, juga seharusnya berada di urutan bawah dalam daftar prioritas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga antirasuah tersebut toh masih harus mengejar beberapa pelaku besar dalam kasus korupsi raksasa lainnya. Meski memang kasus yang melibatkan Hasto berhubungan dengan transfer uang ilegal senilai sedikit di atas Rp1 miliar ($66.000 dolar Amerika)
Jadi, bagaimana langkah KPK terhadap Hasto di malam Natal tersebut dapat kita pahami?
Fakta bahwa Hasto ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi hanya beberapa hari setelah PDI-P mengeluarkan mantan presiden Joko “Jokowi” Widodo dari partai, merupakan indikasi kuat bahwa mantan keluarga presiden tersebut masih punya dendam yang harus dibalas. PDI-P juga memecat putra Jokowi, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dan menantunya, Bobby Nasution
Alasan dendamnya jelas. Menjelang pemilihan presiden tahun ini, Hasto memimpin sebuah faksi yang sangat anti-Jokowi di dalam PDI-P. Faksi itu berisi sekelompok politikus yang sangat kritis terhadap tindakan mantan presiden tersebut, yang mereka anggap anti-demokrasi, dan yang berambisi untuk menjabat lagi hingga merasa harus mencalonkan putra sulungnya sebagai calon wakil presiden.
Pada Mei 2023, Hasto memimpin sebuah sidang yang diadakan secara tergesa-gesa untuk menegur Gibran yang saat itu menjabat Wali Kota Surakarta, Jawa Tengah. Gibran ditegur karena mengadakan pertemuan dengan Prabowo, Menteri Pertahanan saat itu. Kejadian ini berlangsung jauh sebelum PDI-P mengajukan calon presidennya sendiri.
Dalam banyak hal, keputusan untuk menetapkan Hasto sebagai tersangka mirip dengan penangkapan mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong, yang diduga telah terlibat dalam kasus korupsi impor gula.
Karena Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak memberikan keterangan rinci tentang bagaimana keputusan Tom untuk mengimpor gula pada 2015 dapat menyebabkan kerugian negara, banyak yang yakin bahwa ia hanya dihukum karena terlalu kritis terhadap beberapa kebijakan ekonomi Jokowi.
Kasus Hasto dan Tom tidak banyak berbeda. Meski kasus korupsi Hasto ditangani oleh KPK, bukan Kejagung, lembaga penegak hukum yang berada di bawah cabang eksekutif pemerintah.
Sejak 2019, menyusul amandemen UU KPK, lembaga antirasuah itu juga ditempatkan di bawah pengawasan Presiden. Reputasinya terus merosot sejak saat itu. Omong-omong, ketua terakhir lembaga itu, Firli Bahuri, sekarang menjadi tersangka korupsi.
Tidak ada yang menunjukkan bahwa jajaran komisioner KPK saat ini, yang pencalonan dan pelantikannya merupakan salah satu aktivitas terakhir Jokowi sebagai presiden, akan bertindak berbeda. Langkah terakhir mereka untuk menetapkan Hasto sebagai tersangka dalam kasus suap kecil hanya menegaskan bahwa skeptisisme publik akhirnya terbukti.
Pada dekade pertama setelah pembentukannya di awal tahun 2000-an, KPK merupakan lembaga yang sangat ditakuti. Penyelidikan antikorupsinya dapat membuat pejabat pemerintah dan politisi gentar.
Kini, lembaga antikorupsi tersebut hanyalah sekadar alat perburuan politik belaka.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.