Vonis untuk Harvey sama sekali tidak mencerminkan rasa keadilan, dan bertentangan dengan konsensus nasional yang menganggap korupsi sebagai kejahatan luar biasa karena dampaknya yang luas terhadap masyarakat.
Tampaknya majelis hakim berperan sebagai Sinterklas sebelum Natal, dengan membagi hadiah berupa hukuman ringan kepada para terdakwa dalam kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat di perusahaan penambang timah milik negara PT Timah.
Dalam sidang pada 23 Desember 2024, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman penjara enam setengah tahun kepada pengusaha muda Harvey Moeis. Selain itu, Harvey harus membayar denda Rp1 miliar ($61.656 dolar Amerika) dan uang pengganti Rp210 miliar. Vonis dijatuhkan setelah kami menyatakan Harvey bersalah atas korupsi dan pencucian uang, dalam kasus yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp300 triliun tersebut.
Putusan hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa, yaitu 12 tahun. Para hakim menilai tuntutan jaksa terlalu berat bagi Harvey yang hanya bertindak sebagai penghubung antara PT Timah dan PT Refined Bangka Tin. Harvey dinilai tidak punya jabatan di PT Refined Bangka Tin sehingga tidak punya suara yang mampu memengaruhi keputusan perusahaan.
Kemurahan hati pengadilan juga dirasakan oleh terdakwa Suparta, Direktur Utama PT Refined Bangka Tin. Ia hanya divonis delapan tahun penjara, denda Rp1 miliar, dan wajib membayar uang pengganti Rp4,57 triliun. Tuntutan penjara yang dijatuhkan untuk Suparta lebih ringan dari tuntutan jaksa, yaitu selama 14 tahun.
Tentu saja putusan ringan itu langsung menuai kecaman publik. Banyak warganet yang menuliskan di media sosial bahwa mereka ingin ikut menggelapkan uang negara senilai Rp300 triliun untuk memperkaya diri dan keluarga, jika tahu hukuman bagi mereka akan demikian ringan dan bisa hidup bahagia setelahnya.
Kemarahan itu wajar saja. Publik menilai vonis itu tidak mencerminkan rasa keadilan, serta bertentangan dengan konsensus nasional yang menganggap korupsi sebagai kejahatan luar biasa karena dampaknya yang sangat luas terhadap masyarakat.
Dalam kasus korupsi PT Timah, kerugian negara sebagaimana ditaksir Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah sebesar Rp300 triliun. Dana sebesar itu dapat digunakan untuk membangun atau merenovasi 170.000 sekolah atau 150 rumah sakit berstandar internasional di seluruh negeri.
Meski mengecewakan, vonis ringan bagi Harvey dan rekannya itu tidak mengejutkan. Pasalnya, hakim hanya mengikuti tren yang ditetapkan oleh hakim lain di pengadilan tindak pidana korupsi Indonesia.
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dikeluarkan pada Oktober tahun lalu menunjukkan bahwa rata-rata vonis penjara yang dijatuhkan kepada seluruh terdakwa korupsi sepanjang 2023 hanya tiga tahun empat bulan. Vonis itu masuk dalam kategori “ringan” berdasarkan peraturan Mahkamah Agung tahun 2020.
Jika hakim yang menangani kasus PT Timah mengikuti aturan tersebut, para terdakwa setidaknya akan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Pasalnya, mereka berperan dalam tindak pidana korupsi yang merugikan negara lebih dari Rp100 miliar.
Vonis ringan yang dijatuhkan majelis hakim juga tidak sejalan dengan resolusi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption atau UNCAC) 2019. Resolusi tentang pemberantasan korupsi terkait kejahatan lingkungan hidup tersebut, mengamanatkan penyitaan hasil tindak pidana untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan sekaligus mencegah terjadinya kejahatan serupa.
Namun, bukan hanya hakim yang patut disalahkan. Jaksa penuntut umum juga dinilai gagal membangun dakwaan yang cukup kuat, serta gagal meyakinkan hakim agar menjatuhkan hukuman berat bagi Harvey dan terdakwa lainnya.
Laporan ICW menemukan bahwa jaksa penuntut umum hanya menuntut rata-rata empat tahun 11 bulan penjara dan denda Rp236 juta bagi terpidana korupsi sepanjang 2023.
Jika hakim menghukum berat para terdakwa, negara mungkin dapat memulihkan kerugian negara akibat kerusakan lingkungan yang terjadi sebagai dampak perbuatan melawan hukum tersebut. Kerugian negara tersebut totalnya mencapai sekitar Rp271 triliun.
Praktik pemberian hukuman ringan kepada terdakwa kasus korupsi, apalagi yang berdampak pada lingkungan, harus dihentikan. Pemimpin negara juga jangan sampai memberi ampun kepada para penggelap uang negara. Daripada bicara soal pengampunan dengan imbalan pengembalian harta hasil korupsi, lebih baik negara membuat UU Pemulihan Aset.
Selama ini, hukuman maksimal menjadi penangkal paling efektif terhadap tindak pidana korupsi.
Vonis dalam kasus PT Timah menjadi peringatan bagi lembaga penegak hukum Indonesia bahwa kita masih jauh dari kata menang, jika kaitannya adalah melawan korupsi.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.