Masih banyak cara berkelanjutan yang tersedia untuk meningkatkan produksi minyak kelapa sawit, daripada membuka perkebunan baru dengan menebang hutan.
residen Prabowo Subianto mungkin tidak menyangka pernyataannya akan memicu kontroversi. Baru-baru ini, ia menyarankan agar Indonesia memperluas perkebunan kelapa sawit tanpa memikirkan soal deforestasi.
Pernyataannya mengirimkan sinyal yang salah terkait sikap pemerintahannya terhadap gerakan keberlanjutan untuk komoditas tersebut. Lebih buruk lagi, kata-katanya merusak jerih payah selama bertahun-tahun mengendalikan deforestasi di industri minyak kelapa sawit. Praktik deforestasi sebagian terjadi berkat moratorium penerbitan izin dan lisensi baru untuk perkebunan kelapa sawit beberapa dekade lalu.
Pernyataan tersebut dapat berbahaya jika ditafsirkan oleh industri sebagai waktu untuk mengabaikan praktik berkelanjutan. Dapat berbahaya juga jika konsumen asing kehilangan kepercayaan pada produk minyak kelapa sawit Indonesia. Bisa-bisa mereka beralih ke produk pengganti lain atau produk dari negara lain yang punya standar keberlanjutan lebih baik.
Mudah untuk membanggakan minyak kelapa sawit, karena komoditas dan produknya merupakan ekspor utama Indonesia. Produk kelapa sawit Indonesia kini mungkin siap memainkan peran penting dalam impian Presiden terkait ketahanan energi, melalui program biodiesel.
Meskipun punya ambisi besar, upaya untuk meningkatkan produksi minyak kelapa sawit tidak boleh mengorbankan lingkungan. Masih banyak cara berkelanjutan untuk meningkatkan hasil produksi, terutama melalui upaya yang selama ini diabaikan, yaitu penanaman kembali lahan, daripada dengan menebang hutan untuk membuka perkebunan baru.
Pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyalurkan lebih dari Rp179 triliun ($10,36 miliar dolar Amerika) dalam bentuk subsidi untuk program biodiesel dari 2015 hingga 2023. Hal itu diungkap oleh riset Auriga Nusantara.
Sementara itu, menurut data BPDPKS dari November 2023, badan tersebut hanya mencairkan Rp8,5 triliun untuk upaya penanaman kembali dalam periode yang sama.
Meningkatkan produksi juga dapat mencakup langkah-langkah memilih benih dan pupuk yang lebih baik. Dua hal tersebut dapat diteliti dan diproduksi oleh universitas dan lembaga penelitian di Indonesia.
Hilangnya hutan tidak hanya akan memusnahkan keanekaragaman hayati Indonesia yang tak ternilai harganya, tetapi juga akan mempersulit negara ini memenuhi target emisi nol bersih. Padahal pemerintahan Prabowo berencana untuk mempercepat pencapaian tujuan emisi nol bersih tersebut pada 2050.
Dan kebun kelapa sawit, meskipun berdaun, berbeda dengan ekosistem hutan yang kompleks. Para ahli telah memberi masukan bahwa perkebunan kelapa sawit tidak hanya dapat mengurangi kemampuan bumi untuk menangkap karbon tetapi juga menyedot nutrisi yang akan mempersulit pemulihan hutan alam.
Selama pertemuan tingkat tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (Asia-Pacific Economic Cooperation atau APEC) pada November tahun lalu, Prabowo mungkin berpikir bahwa Indonesia dapat memenuhi kebutuhan energi hijau secara mandiri dengan mengandalkan sumber daya alamnya. Dan sumber daya itu termasuk bentuk-bentuk bioenergi seperti biodiesel berbasis minyak kelapa sawit. Namun, Prabowo juga harus ingat bahwa seandainya sumber biodiesel tersebut mengarah pada penggundulan hutan, maka tidak ada hal yang bisa disebut ramah alam dalam biodiesel tersebut. Sama halnya dengan tidak akan ada yang disebut ramah lingkungan pada kendaraan listrik jika tenaganya masih bersumber dari pembangkit listrik tenaga batu bara.
Lebih jauh, Presiden Prabowo perlu mengevaluasi jutaan hektar perkebunan kelapa sawit di negara ini, setalah tahun lalu ada temuan bahwa lebih dari 3,3 juta perkebunan itu merupakan perkebunan ilegal. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah menunjukkan kurangnya kepatuhan yang menyebabkan potensi kerugian pendapatan sebesar Rp300 triliun.
Dorongan ekspansi yang membabi buta hanya akan menyebabkan lebih banyak perkebunan ilegal dan lebih banyak kerugian pendapatan bagi pemerintah. Hal itu terutama jika pemerintah terus mengabaikan pekerjaan rumahnya untuk meningkatkan kepatuhan dalam industri minyak sawit.
Rencana untuk meningkatkan produksi minyak sawit harus disertai langkah-langkah yang memadai untuk mempertahankan harga yang layak di tingkat petani. Peningkatan pasokan artinya tidak boleh ada penghasilan petani kecil yang berkurang.
Pemerintah juga perlu meningkatkan upaya untuk menegaskan kendali negara atas harga minyak sawit. Saat ini, harga minyak sawit masih terikat dengan bursa komoditas Malaysia dan kemungkinan akan tetap seperti itu di tahun-tahun mendatang, meskipun Indonesia telah membentuk bursanya sendiri untuk komoditas tersebut.
Akan menjadi ironis jika Indonesia, dengan segala kejayaan minyak sawitnya, harus puas mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh negara lain, sementara di sisi lain membanggakan diri sebagai produsen minyak sawit terkemuka di dunia.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.