Komunikasi yang efektif terkadang bukan hanya tentang kejelasan. Komunikasi efektif bisa juga tentang cara menyampaikan pesan, apakah pesan tersebut dapat meyakinkan orang yang menerimanya.
Kami memuji inisiatif Presiden Prabowo Subianto yang mengadakan wawancara dengan tujuh pemimpin redaksi media cetak dan elektronik di Indonesia, dalam sebuah diskusi meja bundar.
Setelah berbulan-bulan dengan kondisi minim komunikasi antara media dan Presiden serta para menterinya, atau bahkan tanpa komunikasi sama sekali, wawancara pada hari Minggu di rumah Prabowo di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, menunjukkan bahwa mantan jenderal Angkatan Darat tersebut terbuka terhadap pengawasan publik dan menerima umpan balik dari pers.
Selama tiga setengah jam, Presiden membahas isu-isu yang paling penting di Indonesia. Di dalamnya termasuk kritik terhadap revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan kurangnya keterampilan komunikasi para pembantu Presiden.
Meskipun diskusi tersebut formal dan direkam kamera, Prabowo menjawab semua pertanyaan. Ia bahkan terkadang tampak begitu jujur mengenai kekurangan pemerintahannya.
“Saya beri nilai 6 [dari 10]. Masih jauh dari angka 9, tapi [masih bisa] lulus,” katanya seraya mengulas kinerjanya sendiri selama lima bulan terakhir sebagai presiden.
Prabowo bahkan minta maaf atas pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi baru-baru ini. Saat itu, Hasan meminta Majalah Tempo memasak kepala babi yang dikirim ke kantor majalah itu. Tempo menerima kiriman kepala babi, yang dinilai sebagai bentuk ancaman terhadap kebebasan pers. Prabowo menyebut pernyataan itu “ceroboh”. Ia pun menyalahkan dirinya sendiri atas semua kegagalan komunikasi para pembantunya.
Tidak banyak pemimpin yang berani menginisiasi forum semacam ini. Bagaimana pun, forum seperti ini dapat menempatkan mereka pada risiko menghadapi tanggapan yang tidak menyenangkan atau bahkan penghinaan publik.
Karena itu, kami mendorong Presiden untuk menjadikan forum ini sebagai acara rutin. Forum selayaknya membahas lebih banyak isu, dan melibatkan lebih banyak jurnalis, terutama yang kritis. Jika perlu, sesi tanya jawab sebaiknya diadakan di tempat yang “netral”, yaitu lokasi yang membuat para jurnalis merasa lebih nyaman untuk mengajukan pertanyaan tajam.
Namun, secara keseluruhan, pertemuan sedekat itu akan mendobrak batasan yang memisahkan pers dan pemerintah. Diskusi seperti itu akan mendorong transparansi dan akuntabilitas terkait kebijakan pemerintah.
Prabowo dan para menterinya mungkin berpendapat bahwa tidak pernah ada pembatasan kebebasan pers. Tetapi, keengganan Presiden untuk berbicara langsung dengan wartawan di acara-acara publik telah membangun tembok pemisah di antara mereka.
Lebih buruk lagi, para menterinya juga mencontoh, ikut meminimalkan interaksi dengan wartawan. Akibatnya, tampak bahwa Presiden dan para menteri tidak terlibat atau kurang punya substansi, meskipun mereka sering tampil di depan publik.
Jika Presiden mengatakan ingin fokus pada yang ia kerjakan, kita tak akan menghalanginya. Namun, tanpa komunikasi yang efektif, dan tidak adanya percakapan yang akrab, pesan Presiden mungkin tidak tersampaikan dengan baik. Komunikasi yang efektif terkadang tidak hanya tentang kejelasan, tetapi juga tentang cara menyampaikan pesan, apakah pesan tersebut dapat meyakinkan orang-orang yang menerimanya.
Dan lebih dari sekadar tindakan berkomunikasi, penting juga bagi Presiden untuk benar-benar mendengarkan. Artinya, ia harus memperbaiki kekurangannya. Misalnya, jika amandemen UU TNI baru-baru ini tidak dimaksudkan untuk menghidupkan kembali peran dwifungsi militer yang kontroversial itu, ia harus membuktikan dengan tindakan yang selaras. Artinya, semua perwira militer yang aktif dalam jabatan publik, di luar 14 lembaga yang ditunjuk dalam undang-undang tersebut, harus mengundurkan diri atau pensiun dini dari militer.
Perang dagang global yang disebabkan oleh kebijakan tarif Amerika Serikat telah menempatkan dunia dalam ketidakpastian dan kerentanan. Kehadiran Presiden dan kemampuan pemerintahannya untuk merumuskan kebijakan yang baik dan menenangkan publik akan menjadi lebih penting saat ini, jika dibandingkan saat kondisi belum seperti sekarang.
Sangat disayangkan bahwa setiap kali pemerintah tersandung masalah ekonomi atau politik, penanganannya terlihat bagai menghadapi akhir dunia. Situasi macam kiamat seperti itu biasanya dapat diperbaiki dengan komunikasi yang lebih baik.
Kita sedang menghadapi resesi global, serta kesulitan politik dan ekonomi lainnya yang disebabkan oleh perang tarif. Dampak masalah itu akan sangat luas. Jadi, mari kita pastikan bahwa kita tidak melewatkan hal-hal mendasar hanya karena kita enggan bercakap-cakap.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.