TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Era ketidakadilan perdagangan 

Mengingat dasar negosiasi adalah tarif impor baru AS yang selangit, skenario terbaiknya adalah mempertahankan status quo perdagangan normal.

Editorial Board (The Jakarta Post)
Jakarta
Mon, July 28, 2025 Published on Jul. 27, 2025 Published on 2025-07-27T19:46:37+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
US President Donald Trump delivers remarks during a meeting with Philippine President Ferdinand Marcos Jr. in the Oval Office at the White House on July 22, 2025, in Washington, DC. US President Donald Trump delivers remarks during a meeting with Philippine President Ferdinand Marcos Jr. in the Oval Office at the White House on July 22, 2025, in Washington, DC. (AFP/Gett Images/Chip Somodevilla)
Read in English

 

Meskipun detail perjanjian perdagangan dengan Amerika Serikat belum final, sekarang sudah jelas bagi kita bahwa kesepakatan bilateral ini bukanlah sesuatu yang patut disebut sebagai keberhasilan di sisi Indonesia. 

Dan memang sesungguhnya tidak pernah diharapkan demikian, karena sejak awal, peluangnya sudah tidak berpihak pada Indonesia, sama seperti negara-negara lain.

Lagipula, mengingat yang menjadi dasar negosiasi adalah tarif impor baru AS yang selangit, skenario terbaiknya adalah mempertahankan status quo perdagangan normal.

Kasus terburuknya adalah pengenaan tarif "timbal balik" secara utuh. Sementara itu, kemungkinan besar hasilnya adalah sesuatu di antara keduanya.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Artinya, perubahan dalam ketentuan perdagangan yang menguntungkan Washington, dengan mengorbankan mitra dagang, praktis telah menjadi konsep yang tertanam dalam kerangka negosiasi, bahkan sebelum pembicaraan dimulai.

Dalam kasus kita, pemerintah setuju pada satu kesepakatan, yang pada dasarnya saat ini hanya berupa perjanjian lisan, yang membebani ekspor kita ke AS dengan tarif 19 persen. Memang, tarif itu lebih baik daripada 32 persen yang dicanangkan Washington pada April lalu. Tapi tetap saja membuat harga barang kita menjadi 19 persen lebih mahal di pasar AS, dan karena itu menjadi kurang kompetitif.

Pada saat yang sama, kita telah berkomitmen untuk sepenuhnya menghapus hambatan tarif dan nontarif (nontariff barriers atau NTB) untuk barang-barang buatan AS yang dikirim ke Indonesia.

Apakah itu adil? Sama sekali tidak. Bisakah kita menyalahkan pemerintah kita atas kesepakatan yang buruk? Itu pertanyaan yang sulit, karena kita tidak tahu seberapa besar ruang kompromi yang tersedia.

Tarif 32 persen secara efektif akan menutup akses ke pasar konsumen terbesar di dunia bagi banyak eksportir Indonesia pada 1 Agustus. Hal itu memaksa para negosiator kita, yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, berada di bawah tekanan besar untuk mencegahnya, meskipun alternatifnya sangat jauh dari menarik.

Dari perspektif kami, negosiasi tersebut lebih mengutamakan cara mengendalikan kerusakan saja, dan bukan demi mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Apalagi memang kesepakatan saling menguntungkan itu tidak pernah ada. Kita tidak mendapat apa-apa; yang paling penting adalah seberapa besar kerugian yang kita alami. 

Selain mengalah pada tarif dan NTB, kita juga menjanjikan investasi besar-besaran dalam bentuk pembelian pesawat Boeing, produk pertanian serta minyak mentah AS, bahan bakar olahan, dan gas minyak cair (liquefied petroleum gas atau LPG).

Bisa dibilang kesepakatan yang kita dapat sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan yang didapat Vietnam, yang menghadapi tarif impor dasar AS sebesar 20 persen. Hampir setara adalah yang didapat Filipina, yaitu sebesar 19 persen. Kedua negara tersebut juga memberikan sejumlah konsesi kepada AS, banyak di antaranya serupa yang kita berikan.

Terus terang, cara AS menangani mitra dagang ibarat perampok yang menuntut seseorang menyerahkan dompet, lalu mau menerima setengah dari uang tunai yang ada di dompet tersebut, asalkan korban memberi beberapa bantuan tambahan kepada si perampok. Berakhir dengan si korban terpaksa menerima kesepakatan dengan lapang dada sambil tetap tersenyum.

Diplomasi di bawah ancaman bukanlah hal baru. Pasar AS yang besar memberi Washington banyak pengaruh, terutama jika negara lain menegosiasikan kesepakatan tarif satu per satu.

Seandainya kita menghadirkan front persatuan ASEAN, atau bahkan mendekati Washington dalam formasi ASEAN+3 yang melibatkan Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok, siapa yang bisa menebak akhir dari perundingan tersebut?

Sebagai catatan tambahan, mengingat peristiwa terkini, hal terakhir yang dibutuhkan ASEAN saat ini adalah konflik militer antara dua anggotanya. Hal itu memperlihatkan secara terang-terangan pada dunia bahwa tidak ada persatuan ASEAN. Paling tidak, itulah yang bisa disimpulkan dari fakta yang ada. 

Pemerintahan Trump sedang mengejar strategi jangka panjang yang nyata untuk menghidupkan kembali industri manufaktur AS. Dan mereka bukan bertindak berdasarkan dorongan populis yang irasional, seperti pendapat beberapa pengamat di awal tahun ini.

Tanggapan kita harus sama jelasnya. Tanggapan kita harus mencakup dorongan yang diupayakan mengarah ke pasar ekspor baru, terutama pada negara-negara berkembang yang tumbuh pesat, yang punya minat sama dengan kita terhadap perdagangan, tanpa embel-embel politik demi keuntungan bersama.

AS memaksakan barang-barangnya ke pasar global dengan mengorbankan eksportir lain dari produk-produk tersebut. Bagi kita, mengimpor lebih banyak minyak, kedelai, atau pesawat dari AS berarti mengurangi impor dari pemasok alternatif.

Selamat datang di era ketidakadilan dalam perdagangan.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.