enurut para ahli, Just Energy Transition Partnership (JETP) dapat mendorong pertumbuhan energi panas bumi di Indonesia. Namun, semua bergantung pada kemampuan pemerintah dalam memberi kepastian hukum, insentif, dan prospek yang jelas bagi energi terbarukan.
Para ahli mengatakan kepada The Jakarta Post bahwa industri panas bumi dalam negeri, di satu sisi, terbatas karena kendala biaya pengembangan yang tinggi, dan di sisi lain ada ketidakpastian harga pembelian listrik. Keduanya mengaburkan prospek ekonomi yang memungkinkan terlaksananya proyek domestik.
Andri Prasetiyo, peneliti di Senik Center Asia, mengatakan kepada The Jakarta Post pada hari Senin bahwa pembiayaan dari skema seperti JETP sangat penting dalam memulai proyek energi panas bumi lokal, yang selama ini berkembang sangat lambat.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan total kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi yang terpasang di Indonesia sebesar 1,9 gigawatt (GW) pada 2018. Kemudian naik 21 persen setelah empat tahun, menjadi mencapai 2,3 GW pada 2022.
Menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 10 tahun yang terbaru dari PLN, Indonesia bertujuan meningkatkan total kapasitas panas bumi yang terpasang menjadi 2,39 GW pada tahun 2030, atau hanya 10 persen dari kapasitas potensialnya, yaitu 23,96 GW.
Pemerintah menargetkan untuk memasang total 9,3 GW pada 2035, yang akan membutuhkan tambahan kapasitas terpasang sebesar 7 GW.
Andri mengatakan bahwa untuk mencapai target 2035, dibutuhkan sekitar $3,65 juta dolar Amerika untuk setiap megawatt tenaga panas bumi yang dihasilkan. Berdasarkan perhitungan Andri, total investasi yang dibutuhkan menjadi $25,29 miliar dolar Amerika.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.