TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Terpenjara kuasa

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Fri, August 25, 2023

Share This Article

Change Size

Terpenjara kuasa The Paiton coal-fired power plant in East Java is seen in this file photo. (PLN/PLN)
Read in English

B

ukan rahasia lagi bahwa transisi energi di Indonesia memerlukan biaya yang sangat besar. Namun yang berulang kali dikatakan adalah win-win solution.

Pada 2022 kemarin, Badan Energi Internasional (International Energy Agency atau IEA) memperkirakan bahwa diperlukan investasi tambahan sebesar $35 miliar dolar Amerika per tahun di sektor ketenagalistrikan Indonesia hingga tahun 2030. Investasi tersebut untuk memenuhi target penanganan perubahan iklim yang disepakati secara internasional.

Program Just Energy Transition Partnership (JETP), yang sering dialihbahasakan sebagai Kemitraan Transisi Energi yang Adil, dengan dana $20 miliar, tentu tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan satu tahun. Mari kita cerna lebih lanjut.

Saat ini, transisi energi Indonesia di sektor ketenagalistrikan bertumpu pada tiga pilar utama. Selain investasi besar-besaran pada energi terbarukan dan langkah-langkah untuk meningkatkan efisiensi energi, penghentian operasional dini pembangkit listrik tenaga batu bara juga sangat penting bagi negara ini untuk mencapai tujuan energi bersih nol emisi karbon.

Hal yang terakhir jadi masalah besar bagi negara kita yang punya cadangan batu bara berlimpah. Terlebih, kebutuhan energi kita yang bergantung pada batu bara itu juga terus meningkat. Batubara masih menyumbang lebih dari 40 persen dari bauran sumber listrik di Indonesia.

Tak sulit mengadakan sebuah bisnis yang menarik untuk investasi energi terbarukan, juga untuk efisiensi energi. Mungkin perlu mengubah sedikit kerangka hukumnya, misalnya agar skema tarif untuk listrik dari sumber terbarukan jadi lebih menarik, atau ada insentif untuk bangunan-bangunan yang sudah didirikan dengan teknologai penahan panas. Yang jelas, tidak sulit melibatkan sektor swasta dalam hal ini.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Yang sulit adalah ketika menyusun kebijakan menyangkut penutupan pembangkit listrik yang sudah dibangun dengan biaya mencapai miliaran dolar. Apalagi, banyak di antaranya masih dibangun dengan rencana untuk dioperasikan dalam jangka waktu panjang.

Bagian dari transisi energi yang berhubungan dengan penutupan pembangkit listrik tidak mungkin dicapai dengan hitungan komersial, karena tidak banyak peluang investasi di dalamnya. Harus ada yang bersedia membuang uang untuk proyek-proyek yang tidak akan pernah memberi untung.

Pembangkit listrik captive, yang notabene dikelola swasta, biasanya memasok listrik untuk fasilitas industri atau komersial tertentu. Pengelolanya adalah pemilik fasilitas tersebut. Karena itu, pembangkit jenis ini sangat sulit untuk ditangani jika dikaitkan dengan penghentian operasional dini. Pasalnya, kita tidak berbicara dengan PLN, perusahaan milik negara, tapi harus melakukan negosiasi dengan beberapa pihak swasta.

Namun, sebetulnya pembangkit-pembangkit listrik jenis ini menyumbang sebagian besar kapasitas pembangkit listrik dengan tenaga batu bara teknologi baru. Seandainya dibangun sesuai rencana, pembangkit-pembangkit tersebut akan memasok sebagian besar dari keseluruhan kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara di negara ini.

Tidak heran jika hal-hal tersebut jadi penghambat bagi upaya Indonesia untuk mencapai tujuan iklim yang disepakati dalam JETP. Bukti komitmen terhadap target tersebut merupakan syarat utama digelontorkannya dana dari International Partners Group.

Sulit membayangkan bahwa isu yang begitu mendasar, yang harusnya sudah lama diketahui oleh siapa pun yang peduli, akhirnya menghambat upaya transisi energi Indonesia, tepat ketika Sekretariat JETP akan mempresentasikan Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan atau CIPP) di awal bulan ini. Tenggat CIPP diundur hingga “jelang akhir tahun ini”.

Sebagian besar tambahan kebutuhan listrik di dalam negeri berasal dari industri padat energi, seperti pabrik peleburan dan fasilitas pemrosesan mineral lainnya. Hal ini pada gilirannya mendorong permintaan terhadap pembangkit listrik captive, yang dapat membuat operatornya tidak bergantung pada jaringan listrik publik.

Oleh karena itu, pembangkit listrik captive harus disertakan dalam CIPP. Karena pembangkit tersebut merupakan bagian dari masalah, seharusnya ia masuk jadi solusi.

Niat baik saja tidak akan menyelesaikan permasalahan pembangkit listrik captive yang dijalankan oleh perusahaan swasta. Negara, dan juga PLN, punya kepentingan politik dan tanggung jawab untuk terlibat dalam pembicaraan guna menutup pembangkit listrik tenaga batu bara lebih awal. Namun, untuk proyek-proyek pembangkit listrik captvie, masalahnya pasti terkait uang.

Pembicaraan terbuka mengenai biaya transisi energi sepertinya sudah terlambat. Kita perlu menyadari kenyataan bahwa tidak semua proyek layak secara komersial, dan harus ada orang yang bertanggung jawab menyandang dana untuk proyek-proyek yang tidak layak secara komersial itu. Indonesia akan butuh bantuan.

Sekarang waktunya membicarakan siapa yang akan mendanai apa. Adakah yang berminat ikut serta?

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.