JETP yang efektif harus berupa perjanjian pembagian beban, dengan kondisi kedua belah pihak bersedia membayar.
dalah hal aneh bahwa program Kemitraan Transisi Energi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP) di Indonesia tidak terdengar lagi kabarnya. Padahal, peluncurannya dilakukan dengan meriah saat KTT G20 di Bali pada November 2022.
Setahun setelah diluncurkan, pada November 2023, Jakarta menerbitkan Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) untuk JETP. Namun tidak banyak hal yang terjadi setelahnya.
Intisari dari implementasi program ini adalah menguji komitmen semua pihak yang terlibat. Hasilnya, mulai muncul keraguan akan adanya pihak yang punya komitmen kuat.
Sementara itu, Indonesia berambisi besar untuk menciptakan jaringan listrik yang lebih ramah lingkungan. Targetnya, 70 persen pasokan listrik baru yang tersedia hingga tahun 2033 adalah energi terbarukan. Hal itu sesuai rancangan rencana pengadaan listrik yang dilihat oleh The Jakarta Post bulan lalu.
Namun, rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan sebesar 33,2 gigawatt terlihat terlalu optimis. Pasalnya, investasi di bidang tersebut, yang dibuka sebelum ini, masih jauh dari target pemerintah.
Tidak ada yang menyangkal besarnya peluang energi terbarukan yang dimiliki Indonesia. Namun, masih banyaknya listrik tenaga batu bara yang mengalir ke rencana jaringan listrik membuat prospek pasar energi ramah lingkungan menjadi kurang menarik. Jika tidak ada jangka waktu yang pasti untuk mengurangi listrik berbasis batu bara, investor akan berhati-hati dalam membangun fasilitas listrik bersih.
Selain itu, masalah intermiten untuk menggantikan tenaga batubara dengan alternatif terbarukan harus diselesaikan. Kemudian, jaringan transmisi harus diperluas ke kawasan industri yang belum terlayani secara memadai. Kedua tugas tersebut butuh investasi awal yang besar.
JETP dimaksudkan untuk menutup kesenjangan kelayakan agar banyak proyek yang tidak menarik untuk investor swasta menjadi layak mendapat dana perbankan. Tetapi hal tersebut tidak banyak berguna, kecuali dananya mulai cair.
Yang kita hadapi saat ini adalah permainan saling menunggu. International Partners Group atau IPG yang dipimpin oleh Jepang dan Amerika Serikat menunggu proyek-proyek yang dianggap layak untuk didanai. Sementara pemerintah Indonesia menunggu kejelasan pendanaan sebelum menawarkan proyek-proyek tersebut.
Padahal, waktu terus berjalan. Sangat disayangkan bahwa semua pembicaraan mengenai solusi yang adil untuk semua pihak telah menciptakan ekspektasi yang salah terhadap JETP sejak awal. Terdapat kerugian besar yang harus ditanggung karena transisi energi tidaklah murah di Indonesia, sebagai negara berpenduduk terbanyak keempat di dunia sekaligus negara yang pertumbuhan ekonominya pesat.
JETP yang efektif harus berupa perjanjian pembagian beban, dengan kondisi kedua belah pihak bersedia membayar.
Indonesia dapat menanggung bebannya melalui suntikan modal negara ke distributor listrik PLN. Hal itu seperti saran Direktur Eksekutif Institute for Essential Services and Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Bisa juga melalui harga listrik yang lebih tinggi bagi pengguna akhir. Kombinasi keduanya juga mungkin dilakukan.
IPG dapat menanggung bebannya dengan menambah porsi hibah dalam JETP, dari angka saat ini. Sejauh ini, porsi hibah hanya berjumlah 1,4 persen dari pendanaan yang diusulkan. Hibah, bukan pinjaman, seringkali dibutuhkan untuk memulai proyek yang tidak menghasilkan keuntungan. Jika mereka dapat mengucurkan ratusan miliar dolar untuk upaya perang dalam waktu singkat, mengapa sulit sekali mengeluarkan sebagian kecil dari dana tersebut untuk upaya menyelamatkan planet ini?
Apakah kedua belah pihak bersedia menanggung kerugian, masih harus ditinjau lagi. Sementara itu, Indonesia tidak bisa diam saja.
Bagaimanapun, skala JETP saat ini, bahkan dalam konsepnya sebagai katalis untuk menarik dana pihak ketiga, masih terlalu kecil bagi Indonesia. Kita tidak bisa hanya bergantung pada program tersebut saja.
Agar transisi energi tetap berjalan, dan secara lebih luas Indonesia dapat mencapai netralitas karbon, pemerintah perlu mempertimbangkan langkah-langkah yang hasil bisa dilihat dalam jangka pendek.
Yang bisa dipertimbangkan adalah peningkatan teknologi untuk menjadikan pembangkit listrik tenaga panas bumi yang tidak terlalu mencemari udara. Lalu mengalihkan bahan baku listrik dari batu bara ke biomassa. Atau, investasi dalam langkah-langkah efisiensi energi, atau pasokan listrik terbarukan di wilayah yang tidak punya jaringan listrik.
Indonesia dapat mencari pendanaan baru dari donor global, termasuk melalui penerbitan lebih banyak obligasi ramah lingkungan.
Kita harus melihat lebih jauh di luar program JETP. Yang jadi tujuan kita adalah JETP dapat mendukung, bukan mempercepat, transisi energi kita.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.